Aturan Sistem dan Transaksi Elektronik Masuki Tahap Akhir, Bagaimana Isinya?
Utama

Aturan Sistem dan Transaksi Elektronik Masuki Tahap Akhir, Bagaimana Isinya?

Dari kewajiban penempatan data center di dalam negeri hingga pencabutan akses diatur dalam regulasi ini.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

RPP PSTE

Pasal 83G:

Pemutusan Akses dilakukan terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83F dengan klasifikasi sebagai berikut:

 a. melanggar ketentuan Peraturan Perundang undangan;

b. meresahkan masyarakat dan/atau mengganggu ketertiban umum; dan

c. memberitahukan cara atau menyediakan Akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan atau muatan yang melanggar hukum.

 

Sebelumnya, kehadiran rancangan peraturan ini menimbulkan polemik publik. Wacana yang muncul dari aturan ini yaitu kewajiban bagi penyelenggara sistem dan transaksi elektronik menempatkan data center di Indonesia. Ketentuan ini dianggap berpotensi terjadinya eksploitasi data publik sehingga dapat melanggar hak privasi publik. Selain itu, penempatan data center dalam negeri juga dianggap rawan karena sumber daya manusia dan infrastruktur pendukung dalam negeri dianggap belum siap.

 

Salah satu kritik mengenai kewajiban penempatan data center dalam negeri disampaikan Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar. Dia menilai penempatan data center dalam negeri rawan diekspoitasi atau disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu. Terlebih lagi, saat ini mulai marak penggunaan data pribadi menjelang pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) 2019 yang mengandalkan data digital.

 

Hukumonline.com

Kepala Sub Bagian Penyusunan Rancangan Peraturan Kementerian Komunikasi dan Informatika Hendri Sasmita Yuda bersama Direktur Konten dan Pemberitaan Hukumonline Amrie Hakim.

 

Berbeda dengan penempatan data center dalam negeri, penempatan di luar negeri akan jauh lebih sulit diekspolitasi karena harus memenuhi berbagai prosedur untuk pengaksesan datanya. Wahyudi juga menganggap pengamanan data tersebut oleh regulator maupun penegak hukum masih lemah sehingga dapat dimanfaatkan atau dicuri.

 

Terlebih lagi, saat ini belum ada perangkat undang-undang yang komprehensif dan memadai untuk perlindungan data pribadi menjadi salah satu indikasi perlindungan data dalam negeri masih lemah.

 

“Dari sudut pandang konsumen, apakah penempatan data center di Indonesia akan lebih aman, terlindungi atau tidak ada kebocoran? Di Malaysia, data centernya yang ditempatkan di negaranya ternyata masih ada kebocoran data penduduk. Jangan-jangan di luar negeri malah jauh lebih aman,” kata Wahyudi saat dihubungi hukumonline, Rabu (14/11).

Tags:

Berita Terkait