Wabah Covid-19 yang melanda Indonesia pada tahun 2020 turut mempengaruhi jumlah perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di lima pengadilan niaga. Banyak perusahaan yang tidak bisa beroperasi lantaran terlilit utang kepada kreditur akibat imbas pandemi Covid-19.
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Cahyo R. Muzhar mengatakan saat ini Indonesia dalam posisi bangkit pasca pandemi. Pemerintah terus berupaya memastikan iklim usaha tetap kondusif. Salah satu instrumen yang digunakan adalah mekanisme PKPU.
“Iklim bisnis terus berupaya untuk ditingkatkan salah satunya dengan kebijakan PKPU. Ini akan mendorong pulihnya ekonomi pasca pandemi,” kata Cahyo dalam laman resmi Dirjen AHU.
Baca Juga:
- Urgensi Revisi UU Kepailitan di Tengah Melonjaknya Perkara PKPU
- Melihat Tren Perkara PKPU dan Kepailitan Jelang Akhir 2023
Cahyo menuturkan isu kepailitan dan PKPU menjadi hal yang menarik pada masa kini terutama terkait dengan banyaknya permohonan PKPU ke pengadilan niaga. Cahyo melihat PKPU mempunyai fungsi yang salah satunya untuk membantu pengusaha, khususnya debitur yang mengalami masalah keuangan akibat terkendalanya usaha yang dijalani, sehingga menyebabkan kesulitan untuk memenuhi kewajiban utangnya kepada para kreditur.
Secara langsung Cahyo mendukung negosiasi melalui PKPU sebagai solusi mencegah kepailitan perusahaan. “PKPU sejatinya merupakan forum negosiasi dalam rangka restrukturisasi utang bagi debitur dan kreditur, guna mencegah PHK besar-besaran sehingga perekonomian nasional tetap dapat terjaga,” terangnya.
Sekadar catatan, berdasarkan riset Hukumonline sepanjang Januari-November 2023 jumlah perkara PKPU yang masuk di lima pengadilan niaga bertambah 110 perkara dari tahun sebelumnya di periode yang sama. Sedangkan untuk perkara kepailitan menurun.