7 Catatan Keberatan F-PKS Atas RUU Pembentukan Peraturan
Utama

7 Catatan Keberatan F-PKS Atas RUU Pembentukan Peraturan

Catatan cenderung hanya menyoroti soal pengaturan penerapan metode omnibus law yang dalam praktiknya menimbulkan masalah.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

(Baca Juga: Ini 15 Poin Perubahan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)

Kedua, perlu sejumlah prasyarat tertentu dalam penggunaan/penerapan metode omnibus law untuk menjamin kepastian hukum agar produk legislasi yang dihasilkan berkualitas dengan melibatkan partisipasi masyarakat.

Syarat tersebut antara lain, metode omnibus law hanya dapat digunakan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan terhadap satu bidang atau topik khusus tertentu (per kluster, red). Misalnya, kluster bidang ketenagakerjaan, pemilu, dan lain-lain. Kemudian, diperlukan alokasi pengaturan waktu yang memadai untuk proses penyusunan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan.

“Agar penyusunan tidak dilakukan tergesa-gesa dan mengabaikan partisipasi publik,” lanjutnya.

Ketiga, menolak ketentuan yang memberi ruang perbaikan RUU setelah persetujuan bersama antara DPR dan presiden dalam rapat paripurna sebagaimana tertuang dalam Pasal 72 ayat (1a) draf RUU PPP. Menurutnya, hal tersebut malah semakin membenarkan praktik legislasi yang tidak baik, seperti saat proses pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU. Hal ini tentu merendahkan marwah pembentuk UU.

“Aturan itu dalam praktiknya rawan disalahgunakan, seperti yang terjadi dalam proses pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU.”

Keempat, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan harus melibatkan pihak yang pro dan kontra secara seimbang. Sebanyak mungkin membuka ruang masyarakat dari berbagai kalangan, seperti kalangan akademisi, organisasi kemasyarakatan, masyarakat sipil dengan memperhatikan sebaran penduduk di seluruh wilayah Indonesia.

Selain itu, mendorong dan memastikan setiap draf RUU dapat diakses masyarakat luas agar dapat memberikan masukan konstruktif. Kelima, memperjelas ruang lingkup pengaturan pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik, sehingga dalam praktiknya tidak menimbulkan multitafsir.

Namun, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan pembentukan peraturan berbasis elektronik. Seperti kesiapan sumber daya manusia dan fasilitas dalam menunjang optimalisasi pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik. Kemudian, mekanisme pembentukan UU tak boleh melemahkan hak anggota dewan berpendapat akibat keterbatasan ruang virtual dibandingkan ruang luring dalam rapat kerja.

Tags:

Berita Terkait