7 Catatan Keberatan F-PKS Atas RUU Pembentukan Peraturan
Utama

7 Catatan Keberatan F-PKS Atas RUU Pembentukan Peraturan

Catatan cenderung hanya menyoroti soal pengaturan penerapan metode omnibus law yang dalam praktiknya menimbulkan masalah.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Suasana rapat paripurna di Gedung DPR. Foto: RES
Suasana rapat paripurna di Gedung DPR. Foto: RES

Meskipun tidak bulat, rapat paripurna menyetujui perubahan kedua atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (RUU PPP) menjadi usul inisiatif DPR. Dari 9 fraksi partai di DPR, hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang meminta kajian mendalam terlebih dahulu sebelum diputuskan menjadi usul insiatif DPR.

“Apakah RUU usul Badan Legislasi tentang Perubahan Kedua atas UU No.12 Tahun 2011 tentang PPP dapat disetujui menjadi usul inisiatif?” ujar Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad saat memimpin rapat paripurna, Selasa (8/2/2022) kemarin. Kemudian, mayoritas fraksi menyatakan persetujuannya.

Dalam pandangannya, Juru Bicara F-PKS Buchori mengatakan minimnya pembahasan di Baleg terhadap materi muatan draf RUU PPP. Bahkan, rapat pembahasan di Baleg yang digelar hanya tiga kali pertemuan. F-PKS belum melihat adanya upaya perbaikan materi yang termuat dalam draf RUU. “Karena itu, F-PKS menyatakan menolak untuk pengambilan keputusan,” ujarnya.

Setidaknya terdapat 7 catatan keberatan dari F-PKS. Pertama, metode omnibus law yang digunakan pembentuk UU harus bertujuan mereformasi seluruh proses pembentukan peraturan menjadi lebih baik, berkualitas, dan berpihak pada kepentingan masyarakat. Seperti menyelesaikan persoalan tumpang tindih aturan, konten materi muatan, hingga teknis penyusunan.

Dibutuhkan metode yang pasti, baku, dan standar yang dituangkan dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan agar menjadi pedoman pembentuk UU. Berdasarkan pengalaman pembentukan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja hanya mengejar cepat yang katanya demi kepentingan penciptaan lapangan pekerjaan,” kata dia.  

Namun, faktanya malah mengabaikan kualitas karena tidak memberi ruang yang cukup untuk meminta masukan publik (partisipasi masyarakat diabaikan, red). Akibatnya penggunaan metode omnibus law dalam praktik pembentukan UU 11/2020 berujung cacat formil sebagaimana tertuang dalam putusan MK.

“Jangan sampai dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan dijadikan sarana menyelundupkan berbagai kepentingan yang dapat merugikan rakyat dan negara,” sindirnya.

Tags:

Berita Terkait