5 Catatan RPP Pelindungan Anak dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik
Utama

5 Catatan RPP Pelindungan Anak dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik

Kewajiban memberikan pelindungan bagi anak yang menggunakan atau mengakses sistem elektronik berlaku baik bagi PSE privat maupun publik.

Ady Thea DA
Bacaan 6 Menit

“RPP mestinya tidak membatasi jangkauan material dari peraturan ini, hanya mencakup PSE lingkup privat, tetapi harus juga menjangkau PSE lingkup publik,” tegasnya.

Ketiga, RPP perlu melibatkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Kementerian/Lembaga lain yang terkait pelindungan anak. Wahyudi mencatat RPP tidak secara khusus melibatkan 2 lembaga negara itu dalam tata kelola pelindungan anak di ruang digital.

Padahal, kewenangan terkait pelindungan anak diampu oleh Kementerian PPPA memiliki fungsi koordinasi terhadap kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan anak. Meski dalam draf sudah memuat bahwa pemeriksaan dugaan pelanggaran dapat berkoordinasi dengan kementerian lain, namun perlu penegasan bahwa fungsi tersebut berada pada kementerian yang terkait pelindungan anak.

Fungsi koordinasi terkait kebijakan dan pelaksanaan pelindungan anak di Indonesia, sesuai mandat Perpres No. 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Perpres No. 65 Tahun 2020 Tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, berada di Kementerian PPPA. Dengan cara pandang yang sama, KPAI juga semestinya diletakkan sebagai bagian integral dari proses ini. Selain itu, di saat yang sama, Kementerian PPPA juga tengah merumuskan Raperpres Peta Jalan Pelindungan Anak dalam Jaringan Tahun 2025-2029.

“Peta jalan ini menghendaki bahwa pengaturan terhadap tata kelola PSE hanya melibatkan Kemen PPPA, BSSN, Kemendag, Kemendikbud Ristek, Kemensos, Kemenkes, Kemenag, juga termasuk LPSK,” imbuhnya.

Batasan usia dan potensi tumpang tindih kewenangan

Keempat, batasan usia anak belum diatur tegas sebab sejumlah UU yang mengatur batas usia anak secara berbeda-beda. Sebagai contoh, UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menyebutkan bahwa warga negara yang sudah berusia 17 tahun dapat memiliki KTP (bukan KIA), dan dapat mengikuti Pemilu.

Rumusan ini berarti pemerintah menempatkan penduduk 17 tahun, tidak lagi sebagai anak, sehingga pemrosesan datanya tidak menempatkan data pribadi tersebut sebagai data pribadi anak. Sementara UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur batas usia anak 18 tahun, sedangkan KUH Perdata mengatur mereka yang berusia 21 tahun dianggap dewasa dan cakap secara hukum.

Tags:

Berita Terkait