3 Guru Besar Koreksi Putusan Pemecatan Evi Novida dari Keanggotaan KPU
Berita

3 Guru Besar Koreksi Putusan Pemecatan Evi Novida dari Keanggotaan KPU

Eddy Hiariej menyebutkan Putusan DKPP tersebut tidak berdasarkan atas hukum bahkan cenderung abuse of power.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Topo menilai dalam aspek tata kelola Pemilu yang demokratis, perkara-perkara yang terjadi dalam tahapan Pemilu, harus bisa memenuhi asas keadilan bagi Peserta Pemilu dan memulihkan ketidakadilan yang muncul.  Ia menyebutkan, hal ini merupakan tugas dari electoral justice system. Electoral justice system dalam hal ini ini bukan hanya tugas KPU, melainkan juga tugas MK. 

 

Menurut Topo, persoalan ini muncul dari putusan MK. Karena itu seharusnya menjadi permasalahan bersama yang didiskusikan serta diselesaikan oleh semua pihak dalam electoral justice system. Tidak adil apabila hanya KPU yang dibebani kewajiban untuk menafsirkan Putusan MK yang dianggap dapat multi tafsir tersebut.

 

“Jika suatu putusan (MK) hanya menambah suara salah seorang calon sesuai permohonan, tanpa mengurangi suara calon lain, maka hitung-hitungannya tidak akan balance dan hal inilah yang menjadi permasalahan,” terang Topo.

 

Sementara terkait sanksi yang dijatuhkan kepada Evi Novida, Topo menilai putusan KPU merupakan putusan lembaga yang bersifat kolektif kolegial. Bukan keputusan Evi seorang diri. Untuk itu tidak tepat jika dipandang hanya Evi yang berperan dan harus mendapatkan sanksi yang paling berat.

 

Topo menilai, putusan DKPP seolah telah menyalahkan langkah yang diambil KPU dalam menindaklanjuti Putusan MK. Sementara tindak lanjut terhadap Putusan MK tersebut merupakan langkah yang dilakukan lembaga, bukan individu. Untuk itu, seharusnya DKPP dalam memeriksa pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu, fokus pada perilaku individu dalam melaksanakan tahapan pemilu, bukan terhadap hal putusan KPU secara kelembagaan.

 

“Sehingga hal tersebut bukanlah kewenangan DKPP dan tidak dapat dijadikan sebagai objek dalam aduan DKPP,” urai Topo. Menurut Topo, dalam kasus ini sekaligus menunjukkan terdapat permasalahan electoral justice system di Indonesia. Keputusan lembaga yang diambiil secara kolektif kolegial tidak bisa dijadikan objek perkara dalam sidang Majelis DKPP.

 

Senada, Guru Besar Fisipol Unair, Ramlan Surbakti menilai, perselisihan hasil pemilihan umum anggota DPRD Kalimantan Barat sudah diselesaikan dengan Putusan MK. Karena putusan MK bersifat final, maka semua pihak harus menerima dan mematuhi Putusan MK. Karena itu KPU wajib melaksanakan Putusan MK. Keputusan KPU untuk melaksanakan Putusan MK bukan putusan salah seorang anggota KPU melainkan keputusan Rapat Pleno Anggota KPU. 

Tags:

Berita Terkait