10 Catatan Kritis Terhadap Kebijakan Wajib Pungut PPN
Berita

10 Catatan Kritis Terhadap Kebijakan Wajib Pungut PPN

Penerapan kebijakan WAPU PPN dinilai terlalu luas, tanpa memperhatikan karakteristik usaha.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

 

Sepuluh, demi kebijakan WAPU PPN yang adil dan berimbang, Yustinus memahami bahwa mekanisme WAPU PPN telah dilakukan sejak 33 tahun lalu (Keppres No. 9/1986) sebagai strategi optimalisasi penerimaan PPN yang andal di tengah lemahnya administrasi perpajakan dan kondisi masih tingginya tingkat ketidakpatuhan WP rekanan Bendaharawan Pemerintah pada beberapa sektor tertentu. Namun demikian, regulasi yang baik seyogianya mampu beradaptasi, menyesuaikan kondisi, dan merespons dampak yang terjadi di lapangan.

 

“Dalam kondisi tingkat kepatuhan Wajib Pajak BUMN yang cukup baik, tertib administrasi, dan distorsi terhadap cashflow, seyogianya kebijakan WAPU PPN dan aturan pelaksanaannya ditinjau dan disempurnakan kembali demi keadilan dan keberpihakan pada misi pembangunan,” tegasnya.

 

Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Arif Yanuar, menyampaikan bahwa pemerintah memiliki pertimbangan dalam menerapkan kebijakan PPN, baik secara benefit maupun cost. Secara benefit, adanya WAPU PPN memitigasi risiko Pajak Keluaran tidak dilaporkan, memitigasi resiko rekanan/penjual tidak melapor dan menyetor PPN. Kemudian  memperkuat basis data bagi DJP yang bermanfaat dalam pengawasan Wajib Pajak, serta Peningkatan kepatuhan dengan mendorong tingkat kepatuhan rekanan dengan adanya Double reporting (sisi Pemungut dan rekanan), yang bertujuan agar dapat memenuhi kriteria WP sesuai PMK-39/PMK.03/2018.

 

Kemudian dari sisi cost, Pemungut PPN memiliki beban administrasi terkait penyetoran dan pelaporan PPN. Dan DJP memiliki beban administrasi terkait permohonan penelitian/pemeriksaan atas permohonan restitusi PPN dari rekanan. Sementara terkait cashflow, Faktur Pajak Masukan (PM) milik rekanan tidak langsung ter-cover dari PK, melainkan melalui mekanisme restitusi PPN.

 

Arif melanjutkan, pemungutan PPN oleh pemerintah diatur dalam Pasal 1 butir 27 UU PPN. Terdapat lima subjek pemungut PPN, yakni bendahara pemerintah, BUMN, Badan Usaha Tertentu, K3S, dan pemegang IUPK OP Tertentu. Adapun implikasi dari kebijakan ini adalah bergesernya kewajiban pemungutan dan penyetoran kondisi dilapangan.

 

“Seringkali penyerahan lebih dulu terjadi dari pembayaran, kondisi tersebut mengharuskan Rekanan menanggung Pajak terutang lebih dahulu hingga pembayaran diberikan. Dengan adanya pemungut PPN, rekanan tidak lagi terbebani atas pajak terutang yang telah bergeser kepada Pemungut PPN sebagai penanggung pajak sebenarnya,” kata Arif.

 

Implikasi selanjutnya adalah terkait restitusi PPN. Arif menjelaskan bahwa dengan sudah dipungutnya Faktur Pajak Keluaran (PK) oleh Pemungut, seluruh Faktur Pajak Masukan (PM) yang dikreditkan rekanan mengakibatkan SPT PPN lebih bayar. Dalam kondisi ini, rekanan dapat mengajukan restitusi pada tiap masa atas SPT lebih bayar. Rekanan dapat melakukan permohonan pengembalian pendahuluan (1 bulan) sesuai PMK-39/PMK.03/2018.

 

Dan implikasi selanjutnya adalah menyoal mitigasi fraud. Penunjukan Pemungut PPN menghindari kemungkinan PPN terutang tidak dipungut/disetorkan ke negara. Double reporting memudahkan DJP dalam melakukan pengawasan. Untuk mendapatkan pengembalian pendahuluan mendorong rekanan meningkatkan kepatuhan perpajakan.

 

Tags:

Berita Terkait