10 Catatan Kritis Terhadap Kebijakan Wajib Pungut PPN
Berita

10 Catatan Kritis Terhadap Kebijakan Wajib Pungut PPN

Penerapan kebijakan WAPU PPN dinilai terlalu luas, tanpa memperhatikan karakteristik usaha.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

 

Pertama, mengenai WAPU PPN, khususnya BUMN dan Entitas Anak BUMN. BUMN adalah agen pembangunan yang secara historis mengemban peran sebagai bagian penting grand design pengembangan perekonomian nasional.

 

Untuk mendukung program Pemerintah dalam rangka ‘mengamankan penerimaan Negara’, khususnya dari sektor pajak, BUMN & Anak Usaha BUMN telah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku Pemungut PPN, sebagaimana diamanatkan dalam PMK-85/PMK.03/2012 tentang Penunjukan BUMN untuk Memungut, Menyetorkan, dan Melaporkan PPN/PPnBM serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya, sebagaimana telah diubah dengan PMK-136/PMK.03/2012 serta PMK-37/PMK.03/2015 tentang Penunjukan Badan Usaha Tertentu untuk Memungut, Menyetorkan, dan Melaporkan PPN/PPnBM serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya.  Aturan ini menetapkan seluruh BUMN sebagai Wajib Pungut (WAPU) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan berlaku efektif per 1 Juli 2012.

 

(Baca: Potensi Pelanggaran Implementasi PP DHE yang Perlu Diantisipasi Pemerintah)

 

Kedua, mengenai mekanisme WAPU PPN, dimana ada Potensi disinsentif bagi Perusahaan Rekanan. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP) kepada Pemungut PPN tidak akan pernah menerima pembayaran PPN atas tagihannya karena PPN tersebut dipungut oleh WAPU. Di sisi lain, pada saat melakukan pembelian barang/pemanfaatan jasa, PKP telah dipungut PPN yang seharusnya dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan (PPN atas perolehan barang dan jasa kena pajak).

 

“Konsekuensinya, perpajakan atas transaksi tersebut secara akumulatif telah menimbulkan kelebihan bayar dan dampak shortage cash flow pada mitra/rekanan Pemungut PPN,” jelas Yustinus.

 

Ketiga, adanya akumulasi lebih bayar PPN. Cash flow pelaku usasa akan tertahan di Kas Negara akibat Lebih Bayar PPN dan hanya dapat dikembalikan dengan mekanisme restitusi (pengembalian Lebih Bayar PPN) yang tidak singkat karena harus melalui proses pemeriksaan pajak oleh Kantor Pelayanan Pajak setempat, yakni membutuhkan waktu hingga 12 bulan. Timbulnya beban cash flow yang cukup signifikan ini tidak jarang ditambal dengan pendanaan eksternal sehingga menimbulkan tambahan cost of fund (beban bunga pinjaman).

 

Keempat, dampak dan Konsekuensi. Permasalahan terjadi cukup lama di lapangan, khususnya pada transaksi antar perusahaan (intercompany transaction) di lingkungan BUMN. Selama ini, lanjut Yustinus, entitas anak BUMN men-support produk atau layanan yang dibutuhkan induk BUMN sebagai wujud Sinergi Internal Group. Ketika entitas anak mengalami kesulitan cash flow yang menghambat operasional bisnis, maka secara tidak langsung grup BUMN tersebut juga akan terdampak, yaitu menurunnya performa dan volume bisnis, hilangnya business opportunity, dan turunnya daya saing di pasar global.

 

Kemila, Inefektivitas WAPU PPN dalam Transaksi Intercompany. Yustinus menilai bahwa pangkal permasalahan terletak pada PMK 85/PMK.03/2012, PMK 136/PMK.03/2012 dan PMK 37/PMK.03/2015 sebagai aturan pelaksana yang belum cukup jelas mengatur batasan definisi ‘rekanan bertransaksi’, sehingga penyerahan BKP/JKP kepada entitas anak termasuk dalam lingkup transaksi yang penjualannya wajib dipungut PPN oleh BUMN (induk).

Tags:

Berita Terkait