Dua Poin Utama Amicus Curiae Asosiasi Pengacara Indonesia di AS Terkait PHPU Pilpres
Melek Pemilu 2024

Dua Poin Utama Amicus Curiae Asosiasi Pengacara Indonesia di AS Terkait PHPU Pilpres

Salah satunya MK bisa membatalkan putusan No.90/PUU-XXI/2023.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

MA di AS umumnya menolak hampir semua permohonan banding kecuali ada kebutuhan MA untuk membuat putusan yang dampak konstitusinya signifikan. Tapi Bhirawa mengatakan MA idealnya mengedepankan keseimbangan yang tepat antara keadilan dan pengendalian. Serta membantu memperbaiki dan menghapus hukum atau UU yang sifatnya tidak adil dan tidak konstitusional.

Keputusan MA yang berdampak buruk dapat menimbulkan perselisihan horizontal di negara tersebut. Misalnya dalam kasus Dred Scott melawan Sandford tahun 1857, yang ujungnya memicu perang saudara di AS. Putusan itu intinya MA tidak memberikan kewarganegaraan AS kepada keturunan Afrika berkulit hitam.

Mengacu kasus tersebut, Bhirawa meminta MK dalam mengadili PHPU dapat menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat sesuai konstitusi dan peraturan perundang-undangan. MK sepatutnya bertindak netral/unbiased, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara sesuai kewenangan dan amanatnya sebagaimana konstitusi tanpa dipengaruhi kepentingan kelompok atau golongan. Seluruh elemen bangsa akan mengalami kerugian besar jika terjadi krisis kepercayaan terhadap integritas MK.

Kedua, IALA berpendapat MK dapat membatalkan putusan No.90/PUU-XXI/2023. Bhirawa menyoroti kontroversi putusan tersebut memberi manfaat kepada salah satu pihak dalam Pilpres 2024. Hal itu tentu saja mencederai rasa keadilan dalam masyarakat. Secara substantif petisi untuk menurunkan batas umur minimal mencalonkan diri sebagai Presiden adalah hal yang biasa. Misalnya di AS batas usia minimum sebagai Presiden 35 tahun.

Tapi persoalannya ada benturan kepentingan dengan objek pembahasan dari putusan 90/PUU-XXI/2023 dimana Anwar Usman sebagai ketua MK kala itu merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka. Hal ini dipertegas Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) melalui putusannya yang menyebut terjadi pelanggaran etik berat.

Bagi IALA MK punya kesempatan untuk memulihkan kepercayaan publik. Ada mekanisme dalam sistem hukum untuk memperbaiki atau merehabilitasi kesalahan atau pelanggaran dari dalam sistem itu sendiri. Proses pemulihan itu jelas butuh waktu untuk membenahi kredibilitas, integritas, dan muruah MK. Kepercayaan masyarakat atas sistem hukum peradilan adalah pondasi utama kehidupan bernegara dan supremasi hukum. Supremasi hukum sipil merupakan salah satu landasan penting bagi kelangsungan kehidupan demokrasi.

“Salah satu bentuk pemulihan yang dapat dilakukan MK saat ini adalah menerapkan keadilan substantif dengan memperbaiki ketidakadilan yang telah muncul akibat putusan yang erat dengan benturan kepentingan,” urai Bhirawa.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait