Saya ingin tanya, sebelum UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, apa telah ada praktik pencatatan perkawinan pada pemerintah? Jika telah ada, di instansi mana pencatatan dilakukan dan dengan persyaratan apa? Selain itu, apa istilah "nikah siri" telah ada sebelum adanya UU perkawinan? Terimakasih atas jawabannya.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
1. Sebelum adanya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan(“UUP”), ada beberapa peraturan yang mengatur pencatatan perkawinan di Indonesia. Pertama, UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Nikah, Talak dan Rujuk (“UU 22/1946”) yang berlaku hanya untuk wilayah Jawa dan Madura.
Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah.
Ketentuan tersebut di atas memang secara khusus mengatur mengenai pencatatan nikah, talak dan rujuk menurut agama Islam. Dan instansi yang berwenang melakukan pencatatan perkawinan pada masa itu adalah Pegawai Pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh Pegawai yang ditunjuk olehnya. Jika pegawai itu tidak ada atau berhalangan, maka pekerjaan itu dilakukan oleh orang yang ditunjuk sebagai wakilnya oleh kepala Jawatan Agama Daerah (Pasal 1 ayat [3] UU 22/1946).
Kedua, untuk orang yang beragama selain Islam, sebelum berlakunya UUP, ketentuan yang mengatur perkawinan antara lain diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158) (Pasal 66 UUP). Dan untuk pencatatan perkawinannya dilakukan di Pegawai Catatan Sipil (Pasal 4 KUHPerdata).
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Syarat bagi pasangan yang beragama Islam untuk perkawinannya dapat dicatatkan tentunya harus dilakukan akad nikah, yakni perjanjian antara bakal suami atau wakilnya dan wali perempuan atau wakilnya. Biasanya wali memberi kuasa kepada pegawai pencatat nikah untuk menjadi wakilnya. Tetapi ia boleh pula diwakili orang lain dari spada pegawai yang ditunjuk oleh Menteri Agama, atau ia sendiri dapat melakukan akan nikah itu. Selanjutnya, yang menikah diwajibkan membayar biaya pencatatan yang banyaknya ditetapkan oleh Menteri Agama (Pasal 1 ayat [4] UU 22/1946).
2. Istilah “nikah siri” ini berakar dari terminologi Arab sirran dan sirriyyun. Sirran berarti secara diam-diam atau tertutup, secara batin, atau di dalam hati. Sedangkan kata sirriyyun berarti secara rahasia, secara sembunyi-sembunyi, atau misterius. Sehingga dikenal istilah nikah siri, artinya nikah rahasia (secret marriage), pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,nikah siri berarti pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama, sehingga perkawinan tersebut menurut agama Islam sudah sah. Ketentuan secara khusus mengenai nikah siri sendiri sampai saat ini belum diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang ada.
Dengan demikian, sebelum adanya UUP pun telah dikenal perkawinan secara agama yang kemudian tidak dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dikenal sebagai “nikah siri”. Lebih lanjut dapat simak artikel Perceraian Kawin Siri.