Jaksa Dinilai Tidak Cermat Menyusun Dakwaan
Kriminalisasi Surat Pembaca:

Jaksa Dinilai Tidak Cermat Menyusun Dakwaan

Jaksa dianggap memaksakan perkara ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Jaksa juga dinilai tidak cermat dalam menguraikan tindak pidana yang didakwakan. Perdebatan mengenai korporasi sebagai korban penistaan juga mencuat.

IHW
Bacaan 2 Menit
Jaksa Dinilai Tidak Cermat Menyusun Dakwaan
Hukumonline

 

Padahal, menurut Halim, Aseng berdomisili di Jakarta Utara. Aseng membuat surat pembaca di rumahnya. Surat itu lalu dikirimkan melalui faksimili di sebuah Wartel di Jakarta Barat. Sehingga Pengadilan Negeri Jakarta Timur tidak berwenang mengadili perkara ini, simpul Endar Sumarsono, penasehat hukum yang lain.

 

Pada bagian lain, Halim juga menyorot tentang ketidakcermatan Jaksa dalam merumuskan waktu terjadinya tindak pidana (tempus delicti). Jaksa menyebutkan tempus delicti terjadi pada 26 September 2006 dan 21 November 2006. Waktu yang disebutkan jaksa adalah tanggal pemuatan surat pembaca di dua koran itu. Padahal, terdakwa membuat surat pembaca itu beberapa hari sebelum diterbitkan.

 

Ketidakcermatan jaksa tidak behenti di situ. Pada berkas dakwaan Winny, jaksa telah keliru dengan menyebutkan bahwa Winny berdomisili di Jakarta Timur. Faktanya, Winny bertempat tinggal di Jakarta Utara. Saya tidak pernah tinggal di Jakarta Timur. Saya juga tidak punya KTP di Jakarta Timur.

 

Pakar hukum acara pidana Universitas Muhamadiyah Jakarta, Chaerul Huda berpendapat bahwa identitas terdakwa yang benar adalah syarat formal suatu dakwaan. Kalau jaksa salah menyebutkan identitas, maka dakwaan itu seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima, kata Huda melalui telepon, Senin (17/11).  

 

Membahayakan

Indriyanto Seno Adji, pakar hukum pidana Universitas Indonesia menyayangkan adanya perkara ini. Menurut dia, menuliskan suatu keluhan di dalam surat pembaca bukan termasuk tindak pidana penistaan maupun fitnah. Surat pembaca adalah ruang publik bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhannya. Kalau penulisnya bisa dikriminalisasi, bisa berbahaya. Tidak ada ruang lagi bagi masyarakat, kata Indriyanto (17/11).

 

Lebih jauh Indriyanto khawatir kriminalisasi terhadap penulis surat pembaca dapat mengancam kehidupan pers. Jangan-jangan nanti semua media cetak juga bisa dikriminalisasi karena dianggap turut serta atau membantu penulis surat pembaca.

 

Lepas dari itu, Indriyanto mengkualifisir tindak pidana penistaan yang diatur dalam Pasal 310 KUHP sebagai sebuah penghinaan formil. Jadi kalau menyebut si A adalah penipu, maka itu sudah dapat dikategorikan sebagai penistaan.

 

Namun, lanjut dia, keluhan, uneg-uneg atau bahkan perasaan tidak senang yang tertuang dalam surat pembaca tidak bisa dikategorikan sebagai penistaan ataupun penghinaan formal. Hal ini karena biasanya penulis surat pembaca memiliki alasan sendiri atas isi suratnya. Kalau disertai dengan alasan, maka itu tidak masuk kategori penghinaan formal.'

 

Pihak yang merasa disudutkan atas isi suatu surat pembaca, kata Indriyanto, harusnya tidak emosional. Bagaimana pun bentuknya, surat pembaca sebenarnya adalah usulan masyarakat yang bersifat membangun. Kalau merasa tersudut, ya bikin hak jawab aja dong, katanya. Sekedar informasi, Duta Pertiwi sebenarnya sudah membalas surat pembaca Aseng dan Winny dengan surat pembaca pula.

 

Pada bagian lain, secara tidak langsung Indriyanto menyayangkan sikap aparat penegak hukum yang kurang memahami KUHP. Menurut dia, KUHP sebenarnya tidak mengenal badan hukum sebagai korban penistaan atau pemfitnahan. Korban tindak pidana penistaan sebagaimana diatur dalam Pasal 310 KUHP hanya orang perseorangan.

 

Mengenai hal ini, Chaerul Huda punya pendapat berbeda. Badan hukum bisa menjadi korban tindak pidana penistaan, kata Huda. Ada yurisprudensinya. Tapi saya lupa dalam perkara apa dan tanggal berapa yurisprudensinya.

 

Bagaimana pendapat hakim? Kita lihat saja bagaimana majelis hakim yang diketuai langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Robinson Tarigan, mengadili perkara ini. Yang jelas, pekan depan (25/11), jaksa penuntut umum baru akan mengajukan tanggapan atas eksepsi penasehat hukum. Setelah itu, majelis hakim akan menjatuhkan putusan sela.

Lanjutan persidangan perkara dengan terdakwa Aseng dan Winny kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (17/11). Pada persidangan itu, penasehat hukum kedua terdakwa mengajukan eksepsi atau bantahan atas dakwaan jaksa penuntut umum.

 

Aseng dan Winny adalah pemilik kios di ITC Mangga Dua. Mereka berdua menulis surat pembaca. Isinya mengeluhkan pelayanan PT Duta Pertiwi Tbk selaku pengembang ITC Mangga Dua. Duta Pertiwi dinilai tidak memberi informasi yang benar mengenai status tanah di komplek perbelanjaan tersebut. Surat pembaca dimuat di harian Kompas dan harian Suara Pembaruan.

 

Duta Pertiwi merespon tindakan Aseng dan Winny dengan mengajukan gugatan perdata. Selain itu, anak usaha grup Sinar Mas yang bergerak di bisnis properti ini melaporkan Aseng dan Winny ke polisi. Saat ini, Aseng dan Winny sedang duduk sebagai pesakitan. Dengan berkas terpisah, keduanya didakwa melakukan tindak pidana penistaan atau fitnah secara tertulis.

 

Dalam eksepsinya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers selaku penasehat hukum terdakwa menilai surat dakwaan jaksa tidak cermat. Mengenai penentuan tempat terjadinya tindak pidana (locus delicti) misalnya. Jaksa menyebut locus delicti terjadi di alamat harian Kompas di Jakarta Pusat dan harian Suara Pembaruan di Jakarta Timur. Faktanya, terdakwa tidak pernah membuat dan atau beraktifitas apa pun pada alamat yang disebutkan penuntut umum, kata Muhammad Halim, salah seorang penasehat hukum terdakwa.

Tags: