BPSK Minta UU Perlindungan Konsumen Segera Diamandemen
Utama

BPSK Minta UU Perlindungan Konsumen Segera Diamandemen

Malang benar nasib Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Setumpuk peran dibebankan pada mereka oleh undang-undang, namun justru isi aturan itu pula yang menghambat kinerja mereka.

Nay
Bacaan 2 Menit
BPSK Minta UU Perlindungan Konsumen Segera Diamandemen
Hukumonline

 

Tidak adanya perlindungan bagi anggota BPSK juga menjadi uneg-uneg Suherdi. Kata dia, anggota BPSK berkali-kali dipanggil oleh polisi untuk menjadi saksi dalam kasus yang berhubungan dengan sengketa yang mereka tangani. Ia menginginkan agar anggota BPSK disamakan dengan pejabat negara dalam hal protokoler. Pasalnya  BPSK dibentuk berdasarkan Keppres. Anggota DPR kalau dipanggil  harus ada izin dari presiden, ujar Suherdi menganalogikan.

 

Usul lain dari Suherdi adalah adanya keseragaman honor BPSK se-Indonesia yang diatur dalam APBN, sementara biaya operasional dibebankan pada APBD Kabupaten/Kota. Saat ini, seluruh anggaran BPSK berasal dari pemerintah kota.

 

Perlu disampaikan, tanpa banyak diketahui oleh publik, BPSK kota Bandung telah berhasil  menyelesaikan 67 kasus sengketa konsumen dalam kurun waktu 2003 sampai Juli 2005. BPSK kota Bandung diklaim oleh Suherdi sebagai BPSk yang paling banyak menangani  sengketa. 

 

Dikatakannya, sengketa yang harus diselesaikan oleh BPSK kota kembang ini tidak hanya terjadi di Bandung, tapi juga di Jakarta dan Banten. Penyebabnya, dua daerah ini belum memiliki BPSK.

 

Masak sih kotamadya (Bandung) yang keluar uang, tapi kita harus menyelesaikan sengketa orang Jakarta, Banten, Cirebon. Rugi kan pemerintah kota.  Akhirnya dari kocek sendiri keluar. Harusnya ada perhatian dari pemerintah yaitu Deperindag, tukas Suherdi. Saat ini terdapat 8 BPSK yang sudah berjalan dan 14 BPSK yang baru terbentuk.

 

Dari 67 sengketa yang diselesaikan oleh BPSK Kota Bandung, kurang dari 10 kasus dimana salah satu pihak mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri. Itu pun Pengadilan Negeri menguatkan putusan BPSK.

 

Peluang untuk mengajukan keberatan terhadapat putusan BPSK ke pengadilan negeri juga termasuk hal yang dikeluhkan Suherdi. Menurutnya, Pasal 54 (3) UU No.8/1999 menyebutkan bahwa putusan majelis bersifat final dan mengikat. Sementara, Pasal 56 ayat 2 menyebutkan para pihak dapat mengajukan keberatan ke pengadilan.

 

Pengamat hukum Mas Achmad Santosa, setuju dengan usul Suherdi untuk mengamandemen UU No.8/1999. Pasalnya, selama  lima tahun keberadaannya, pelaksanaan undang-undang tersebut sama sekali tidak efektif. Bukan hanya kerangka undang-undangnya saja yang bermasalah, tapi juga sosialisasinya dan dukungan dari pemerintah yang minim.

 

Peran BPSK terlalu berat

Khusus mengenai BPSK, Mas Achmad menilai problem besar yang dihadapi oleh BPSK adalah perannya yang terlalu berat sehingga sulit menjalankan perannya secara efektif.

 

Berdasarkan UU No.8/1999, ada lima peran yang dibebankan pada BPSK, yaitu peran sebagai penyedia  jasa penyelesaian sengketa  (sebagai mediator, konsiliator, arbiter), peran konsultan masyarakat atau public defender, peran administrative regulator (sebagai pengawas dan pemberi sanksi) dan peran ombudsman serta peran ajudicator atau pemutus. 

 

Peran-peran tersebut, selain membutuhkan skill yang tinggi, juga berpotensi menimbulkan pertentangan kepentingan. Misalnya, peran mediator yang membutuhkan peran netral, dengan regulator, atau peran mediator dengan ajudicator.

 

Oleh sebab itu, ia mengusulkan agar BPSK hanya menjalankan fungsi penyedia jasa sengketa, baik mediator, arbiter maupun rekonsiliator, ditambah fungsi ombudsman, yaitu sebagai penerima pengaduan masyarakat. Saat menerima pengaduan, mereka bisa sekaligus menawarkan diri untuk menyelesaikan sengketa.

 

Senada dengan Mas Achmad, akademisi dari Universitas Parahyangan, Bandung, berpendapat fungsi BPSK sebaiknya dibatasi hanya menyelesaikan sengketa tanpa dibebani tugas lainnya.

Desakan agar UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen segera diamandemen diajukan oleh Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) kota Bandung, Suherdi Suhendi dalam perbincangan dengan  hukumonline di sela-sela sebuah seminar di Jakarta (20/7).

 

Menurutnya, pelaksanaan UU No.8/1999 di lapangan, BPSK menghadapi segudang kendala. Sebagian  disebabkan oleh kelemahan undang-undang, kemudian dalam SK Menperindag No 350/MPP/Kep/12/2001, maupun kelemahan dari dalam BPSK sendiri.

 

Suherdi mencontohkan tidak adanya pengaturan jika pelaku usaha selaku tergugat di BPSK tidak memenuhi panggilan meski telah dipanggil secara patut. Pasal 52 huruf i UU No.8/1999 memang menyebutkan bahwa BPSK bisa meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha. Namun dalam kenyataannya hal ini tidak dapat terlaksana karena penyidik  mensyaratkan adanya SKB antara Kapolri dengan Menperindag. Menurut Suherdi, belum ada pemahaman yang sama antar penegak hukum mengenai UU No.8/1999.

 

Masalah lain, UU No.8/1999 menugaskan BPSK untuk melakukan pengawasan pencantuman klausula baku. Tapi, sampai saat ini belum ada aturan tentang teknis operasional pengawasan tersebut. 

Tags: