​​​​​​​Status Hukum Perempuan Sebagai Kepala Keluarga Akibat Perceraian
Hukum Perkawinan Kontemporer

​​​​​​​Status Hukum Perempuan Sebagai Kepala Keluarga Akibat Perceraian

​​​​​​​Perempuan sebagai kepala keluarga tidak selalu identik dengan perceraian. Namun secara sosial kultural, orang hanya menerima istilah perempuan kepala keluarga bila terjadi perceraian yang melalui prosedur hukum.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Dalam kasus perceraian, baik cerai hidup atau cerai mati, perempuan pada umumnya menanggung beban lebih berat ketimbang laki-laki atau mantan suami. Bila pengadilan memutus hak asuh anak ada di tangan ibu, maka si ibu bukan hanya harus berpikir keras bagaimana cara menafkahi diri sendiri, tapi juga harus siap membiayai hidup anak. Putusan pengadilan yang memerintahkan mantan suami memberi nafkah kepada anak dan mantan istri bak macan di atas kertas karena selama ini implementasinya jauh dari harapan.

 

Hal ini seperti ini dialami Koordinator Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Nani Zulminarni. Pada tahun 2000, Nani diuji masalah perceraian dalam hidupnya. Ketika itu, ia merasakan betapa sulitnya menjadi perempuan yang bercerai dalam konteks sosial kultural di Indonesia. Pandangan orang tentang janda seakan memojokkan dirinya. Belum lagi tuntutan ekonomi yang harus dipikul ibu tiga anak ini. Kesulitan seakan datang bertubi-tubi. Namun pengalaman hidupnya itu membuat ia semangat mengembangkan PEKKA.

 

Kisah lainnya datang dari Adelina, perempuan kepala keluarga yang bekerja sebagai petani. Dia bersama tiga anaknya tinggal di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Di tengah keterbatasan, mereka berjuang sendirian karena suaminya meninggalkan rumah dan tidak memberi nafkah sejak 2013.

 

Pada 2014, Adelina memutuskan untuk bergabung dengan Perkumpulan Sada Ahmo (PESADA) dan Koperasi Kredit Mawar Sirisi. Melalui kedua perkumpulan inilah dia bertemu dengan kader PESADA yang senasib. Mereka berbagi suka duka dan saling menyemangati.

 

Muhae, janda 29 tahun dari Desa Dasan Geres, Kecamatan Gerung, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, juga merasakan nasib yang sama. Mantan suaminya menikah dengan perempuan lain dan pergi tanpa kabar. Sejak itu, dia mencari nafkah, mengurusi rumah, dan membesarkan anak-anaknya sendirian yang mulai menginjak usia sekolah.

 

Meski hidup susah dan kerja serabutan, bukan berarti Muhae menyerah. Dia terbiasa membantu warga dusunnya membuat Kartu Keluarga dan KTP. Di tempat dia tinggal, banyak lansia yang tidak punya data kependudukan. Para lansia inilah yang dibantu oleh Muhae tanpa pamrih. Dari sini, Muhae ditawari menjadi tenaga survei Badan Pusat Statistik.

 

Nani Zulminarni berpendapat sebenarnya di UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mendefinisikan siapa kepala keluarga karena definisi kepala keluarga sendiri sangat bias terhadap realita. Menurutnya, banyak sekali perempuan menjadi kepala keluarga meskipun tidak dalam status bercerai secara resmi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait