Kata “Dapat” Beri Ruang Pemerintah Abaikan Kewajiban Konstitusi
Berita

Kata “Dapat” Beri Ruang Pemerintah Abaikan Kewajiban Konstitusi

Ahli menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 55 ayat (4) bertentangan dengan UUD 1945, sementara pemerintah menyatakan sebaliknya.

ASh
Bacaan 2 Menit
Untuk pendidikan dasar, seharusnya pemerintah wajib membiayai <br> penyelenggaran pendidikan, meski tidak sepenuhnya. Foto: <br> Ilustrasi (Sgp)
Untuk pendidikan dasar, seharusnya pemerintah wajib membiayai <br> penyelenggaran pendidikan, meski tidak sepenuhnya. Foto: <br> Ilustrasi (Sgp)

Untuk pendidikan dasar, seharusnya pemerintah wajib membiayai penyelenggaran pendidikan, meski tidak sepenuhnya. Pasal 55 ayat (4) UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengakibatkan pemerintah diberi ruang untuk tidak membantu lantaran adanya kata “dapat”.

 

Pendapat itu disampaikan Sulistyo, ahli tenaga kependidikan, saat memberi keterangan dalam sidang pengujian Pasal 55 ayat (4) UU Sisdiknas di ruang sidang Gedung MK, Selasa (25/1). Pengujian ini dimohonkan oleh Machmud Masjkur dan Suster Maria Bernardine. Keduanya, mengatasnamakan pengurus Yayasan Salafiah dan Yayasan Santa Maria Pekalongan.

 

Menurut pemohon, Pasal 55 ayat (4) UU Sisdiknas yang menyatakan lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata oleh dari pemerintah atau Pemda inkonstitusional. Kata “dapat” pada pasal itu berpotensi menghilangkan kewajiban pemerintah sekaligus hak pemohon terkait pembiayaan penyelenggaraan pendidikan dasar.

 

Kata itu juga berpotensi menghilangkan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum, jaminan kepastian hukum, perlakuan yang tidak diskriminatif, dan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM.   

    

Menurut Sulistyo, Pasal 55 ayat (4) UU Sisdiknas ternyata telah memberi inspirasi pemerintah atau pemerintah daerah untuk tidak memberikan bantuan kepada sekolah swasta, kecuali bantuan operasional sekolah (BOS). Itupun penggunaannya belum mendukung biaya personalia untuk guru atau tenaga kependidikan.

 

“Inspirasi ini membuat pemerintah tidak memberikan bantuan kepada sekolah swasta untuk pendidikan dasar (tingkat SD dan SMP), akibatnya sekolah itu mengalami kesulitan,” kata Ketua Umum Pengurus Besar PGRI itu.  

      

Faktanya banyak guru/tenaga kependidikan sekolah swasta memperoleh penghasilan jauh dari kewajaran yang hanya memperoleh Rp200 ribu hingga Rp300 ribu dari dana BOS. Hal ini dinilai melanggar Pasal 39 UU Guru dan Dosen. “Tunjangan profesi guru pun yang diharapkan untuk sekolah swasta hanya sekitar 10 persen,” jelasnya.    

 

Padahal sesuai Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Pembiayaan ini mencakup biaya satuan, penyelenggaraan pendidikan, biaya pribadi peserta didik. “Biaya itu termasuk biaya personalia untuk guru dan tenaga kependidikan,” tambahnya.

 

Diskriminasi

Ahli lain, Abdul Hakim Garuda Nusantara berpendapat kata “dapat” membuka peluang bagi penguasa untuk bertindak sewenang-wenang memberikan atau tidak memberikan bantuan kepada lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat. Hal ini juga akan berpotensi terjadinya praktek diskriminasi. “Sebagian lembaga pendidikan berbasis masyarakat tidak mendapat bantuan, sebagian tidak,” kata Hakim.

 

Ia menegaskan adanya kata “dapat” dalam Pasal 55 ayat (4) UU Sisdiknas juga membuka peluang bagi pejabat mengurangi, menyimpangi, menghapuskan hak setiap warga negara atas pendidikan itu. Menurutnya, rumusan pasal itu menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi menimbulkan ketidaksetaraan di antara warga negara yang berhak atas pendidikan.

 

“Karena itu, Pasal 55 ayat (4) UU Sisdiknas sepanjang kata ‘dapat’ tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tutur mantan Ketua Komnas HAM itu.

 

Sementara ahli hukum tata negara, Fajrul Falakh berpendapat tidak ada pilihan kebijakan bagi pemerintah kecuali mengikuti kewajiban konstitusional sesuai Pasal 31 ayat (2) jo Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945. Selain itu, Pasal 34 UU Sisdiknas juga telah mengatur kewajiban pemerintah untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah, Pemda, atau masyarakat.  

 

“Tetapi, ternyata hak memperoleh jaminan pendidikan dasar itu berpotensi dihilangkan oleh Pasal 55 ayat (4) UU Sisdiknas yang bermakna lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan atau tidak memperoleh bantuan,” kata pria yang juga tercatat sebagai anggota Komisi Hukum Nasional itu menjelaskan.   

 

Fajrul berpendapat Pasal 55 ayat (4) itu menimbulkan ketidakpastian hukum bagi penyelenggara pendidikan dasar yang berbasis masyarakat yang haknya untuk memperoleh bagian anggaran sudah dijamin Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 34 ayat (2) dan (3) UU Sisdiknas. “Pasal 55 ayat (4) itu dapat menimbulkan diskriminasi antara lembaga pendidikan (dasar) swasta dan pemerintah.”

 

Bukan tak terbatas

Sebelumnya, Fasri Jalal yang mewakili pemerintah menuturkan kewajiban pemerintah untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan dasar sesuai amanat Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 bukan tak terbatas. Karena itu, Pasal 55 ayat (4) tidak bertentangan dengan Pasal 31 ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), dan Pasal 28 I ayat (2) dan (4) UUD 1945 dan juga tidak berpotensi menghilangkan hak konstitusional pemohon.   

 

Menurut Wakil Menteri Pendidikan Nasional itu jika kata “dapat” dihilangkan, berarti pemerintah wajib membiayai seluruh jenjang pendidikan yang diselenggarakan masyarakat. “Jika permohonan ini dikabulkan justru Pasal 55 ayat (4) itu nantinya bertentangan dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 yang hanya mewajibkan pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar,” katanya. “Jika ini terjadi, pemerintah harus menyediakan dana besar dengan mengurangi dana sektor lain.”

 

Ia mengaku selama ini pemerintah atau pemda juga selalu membantu penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang dikelola swasta. Di antaranya melalui dana BOS, beasiswa, tunjangan profesi, bantuan pendidik guru PNS yang dipekerjakan, dana alokasi khusus.

 

“Dana alokasi khusus untuk program wajib belajar 9 tahun yang bermutu untuk sekolah negeri/swasta untuk daerah terpencil atau tertinggal, perbatasan, rawan bencana,” jelasnya.

Tags: