Kebebasan Berserikat bagi Buruh, Dulu dan Sekarang
Edisi Akhir Tahun 2009:

Kebebasan Berserikat bagi Buruh, Dulu dan Sekarang

Ketika dikekang, serikat buruh tak berkembang. Saat dibebaskan, menjadi tak terorganisasi dengan baik. Semua berjalan sendiri-sendiri dan merasa paling benar.

ASh/IHW
Bacaan 2 Menit
Demo Buruh di Jakarta. Foto: Sgp
Demo Buruh di Jakarta. Foto: Sgp

Yel-yel “Buruh bersatu tak bisa dikalahkan!” nampaknya tak asing di telinga kita saat organisasi serikat buruh melakukan aksi mogok atau unjuk rasa menyuarakan aspirasinya. Baik itu ketika mengadvokasi suatu kasus ataupun mengusung isu kebijakan perburuhan. Ungkapan itu, justru menunjukkan kondisi ril bahwa berbagai organisasi serikat pekerja saat ini belum bisa disatukan dengan cara menggalang kekuatan bersama untuk satu tujuan yakni menyejahterakan buruh.  

Meski kran kebebasan berserikat telah dibuka lebar sejak pemerintah meratifikasi Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 dan disahkannya UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh, gerakan serikat buruh masih sulit disinergikan untuk mencapai tujuan itu. Akibatnya, terhadap persoalan yang sebenarnya menjadi isu bersama, berbagai organisasi serikat pekerja cenderung berjalan sendiri-sendiri.

Selain itu persoalan di tingkat kebijakan, kebijakan perburuhan belum berpihak pada buruh. Sebut saja persoalan sistem buruh kontrak, praktek outsourcing, dan politik upah murah. Meski wacana revisi kebijakan soal itu –yang tertulis lewat UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan– yang diusung organisasi serikat pekerja sejak tiga tahun lalu bergulir, tetapi belum ada hasil yang signifikan.

Nampaknya, keterwakilan tiga konfederasi serikat pekerja dalam lembaga tripartit nasional -yang berfungsi memberikan saran/pendapat kepada pemerintah untuk menyusun kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan- dinilai tidak optimal dalam memperjuangkan nasib buruh. Maka wajar bila ada beberapa serikat pekerja tidak merasa terwakili oleh tiga konfederasi yang duduk di lembaga LKS Tripartit Nasional. Salah satunya adalah Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI).  

Belum otimalnya lembaga LKS Tripartit Nasional itu pun menjadi sorotan/catatan Menakertrans Muhaimin Iskandar saat membuka Diskusi Publik Catatan Isu Perburuhan Tahun 2009 yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) beberapa waktu lalu. Terutama memandang penyelesaian soal buruh kontrak, outsourcing, dan pesangon yang menjadi stagnasi hubungan industrial Indonesia. Padahal keberadaan wakil serikat pekerja (konfederasi) di Tripartit Nasional memiliki posisi yang strategis untuk memperjuangkan nasib buruh.          

Penyatuan dipaksa
Seperti diketahui zaman Orde Baru (Orba) merupakan era yang sulit bagi serikat buruh. Pemerintah kerap mengintervensi intenal organisasi serikat buruh yang dilegitimasi lewat beragam aturan. Tak jarang aktivitas serikat buruh kala itu mendapat intimidasi dan kekerasan fisik oleh penguasa. Pada awal Orba, dibentuknya Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia (MPBI) merupakan kesatuan dari seluruh organisasi buruh di Indonesia. Pada Februari 1973, MPBI berubah nama menjadi Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) sebagai satu-satunya organisasi buruh yang diakui pemerintah.  

Kebijakan itu dikuatkan lewat Permenakertrans No. 1/1975 tentang Pendaftaran Organisasi Buruh yang dalam Pasal 2-nya dinyatakan organisasi buruh yang berbentuk gabungan, harus memiliki pengurus daerah sekurangnya di 20 provinsi dan anggota 15 serikat buruh. Kondisi saat itu rasanya tak mungkin bagi serikat buruh untuk memenuhi persyaratan itu tanpa dukungan dari pemerintah. Sehingga hanya FBSI dengan 21 Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan yang dianggap sah.

Tags: