Stanchart Anggap Kontrak Sudah Sah
Transaksi Derivatif:

Stanchart Anggap Kontrak Sudah Sah

Kuasa hukum Stanchart dalam jawaban atas gugatan PT Nubika, menyatakan kliennya tidak wajib memberikan laporan mingguan dan laporan khusus atas transaksi Callable Ratio Forward.

Mon
Bacaan 2 Menit
Stanchart Anggap Kontrak Sudah Sah
Hukumonline

 

Dalam gugatannya, penggugat mendalilkan, bahwa transaksi berdasarkan Callable Ratio Forward  merupakan perjanjian yang dilarang oleh BI sesuai dengan SEBI dan PBI. Selain itu, penggugat menyatakan Callable Ratio Forward melanggar PBI 10/37/PBI/2008 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. Sebab Callable Ratio Forward merupakan kontrak yang berpotensi terjadinya structured product, sehingga mengandung unsur spekulatif dan dilarang oleh PBI 10/37.

 

Kuasa hukum Stanchart menilai dalil  itu tidak berdasar hukum, karena PBI 10/37 dan SEBI No. 10/48/DPD tanggal 28 Desember 2008 mengenai teknis pelaksanaan pelaksanaan PBI No. 10/37, baru berlaku pada Desember 2008. Sementara, perjanjian ditandatangani 3 bulan sebelum PBI itu berlaku, sehingga Callable Ratio Forward  tidak melanggar PBI 10/37 dan SEBI No. 10/48.

 

Tak Wajib Lapor?

Dalam jawabannya, kuasa hukum Stanchart menyatakan kliennya tidak wajib memberikan laporan mingguan dan laporan khusus atas transaksi Callable Ratio Forward. Bisa jadi disinilah inti permasalahannya. Sebab, dalam PBI No. 7/31/PBI/2005 tentang Transaksi Derivatif, disebutkan bahwa bank wajib memberikan laporan kepada nasabah secara mingguan mengenai posisi transaksi derivatif nasabah. Bahkan bank wajib memberikan laporan khusus pada saat posisi nasabah dianggap cukup membahayakan, yaitu apabila nasabah menghadapi kemungkinan kerugian sehingga dapat mengakibatkan margin deposit yang tersedia tidak dapat menutup kerugian (Pasal 9 ayat 4).

 

Namun, menurut kuasa hukum Stanchart, transaksi Callable Ratio Forward yang dilakukan kliennya bukanlah transaksi margin trading. Sebab menurut mereka, Pasal 9 ayat (4) PBI No. 7/31 hanya mengatur transaksi derivatif yang bersifat margin trading. Yakni, transaksi derivatif tanpa pergerakan dana pokok (notional ammount) sehingga yang bergerak hanya margin yang merupakan hasil perhitungan notional ammount dengan selisih kurs dan/atau suku bunga yang mensyaratkan atau tidak mensyaratkan adanya margin deposit untuk menjamin transaksi.

 

Masih menurut kuasa hukum Stanchart, Callable Ratio Forward tidak termasuk dalam pengertian margin trading. Pasalnya, dalam transaksi itu terjadi pergerakan dana pokok, dimana PT Nubika menyerahkan uang dalam dolar Amerika Serikat dan Stanchart menyerahkan uang dalam rupiah sesuai Callable Ratio Forward.

 

Apalagi, sebelum kontrak derivatif ditandatangani, Stanchart telah menerangkan resiko atas perjanjian, baik lisan maupun tertulis. Penjelasan tertulis itu dituangkan dalam indicative term sheet yang ditandatangani PT Nubika pada 10 September 2008. PT Nubika juga telah membuat pernyataan dalam Callable Ratio Forward. Dalam surat pernyataan itu, PT Nubika menyatakan melakukan transaksi berdasarkan pertimbangan sendiri, memahami serta menerima segala ketentuan, persayaratan dan resiko dari transaksi Callable Ratio Forward.

 

Kuasa hukum Stanchart juga menampik dalil penggugat yang menyatakan perjanjian tidak seimbang, dimana Stanchart berhak mengakhiri perjanjian, sementara PT Nubika tidak berhak untuk mengakhiri perjanjian.

 

Menurut kuasa hukum Stanchart, PT Nubika tidak diwajibkan untuk membayar premi dalam Callable Ratio Forward. Apabila  PT Nubika memiliki hak untuk mengakhiri perjanjian setiap saat, maka premi yang harus dibayarkan PT Nubika sangat tinggi. Selain itu, akan menimbulkan biaya pengakhiran karena berkaitan dengan transaski lindung nilai yang dilakukan dengan pihak lain. Dengan begitu,  kontrak derivatif tersebut telah memenuhi syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata dan bukan perbuatan melawan hukum. Oleh sebab itu, tuntutan ganti kerugian menurut penggugat tidak berdasar hukum.

 

Gugat Balik

Kuasa hukum Stanchart malih balik menuding pihak PT Nubika. Menurut mereka, PT Nubika telah wanprestasi atas Callable Ratio Forward lantaran tidak melaksanakan kewajibannya. Seharusnya PT Nubika mematuhi segala syarat dan ketentuan yang telah disepakati dalam Callable Ratio Forward.

 

Kalaupun ada hambatan dalam pelaksanaan perjanjian, PT Nubika harus menyelesaikan permasalahan sesuai dengan perjanjian. Akan tetapi, PT Nubika sengaja tidak melanjutkan perjanjian saat transaksi masuk tahap kedelapan. Padahal PT Nubika telah tujuh kali melakukan dan menikmati transaksi. Kesengajaan itu dinilai melanggar hak Stanchart berupa penyerahan uang dolar AS pada transaksi kedelapan dan seterusnya.

 

Pengajuan gugatan ke pengadilan juga dinilai melanggar asas kepatutan. Akibatnya Stanchart menderita kerugian Rp 116.414.562.014. Stanchart juga mengalami kerugian atas rusaknya nama baik dan reputasi, sehingga kehilangan kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu Stanchart menuntut ganti rugi immateriil sebesar Rp 100 miliar. Kerugian itu harus dibayar secara tunai dan sekaligus selambat-lambatnya delapan hari sejak putusan berkekuatan hukum tetap.

Sengketa kontrak derivatif antara PT Nubika Jaya dengan Standard Chartered Bank (Stanchart) kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebelumnya keduabelah pihak gagal mencapai kata sepakat ketika mediasi. Dalam persidangan lanjutan, Senin (08/6) kemarin, giliran kuasa hukum Stanchart yang mengajukan jawaban atas gugatan. Kuasa hukum Stanchart dari Kantor Hukum Soemadipradja & Taher, menyatakan kontrak derivatif Callable Ratio Forward Currency antara kliennya dengan PT Nubika Jaya sah dan mengikat para pihak sebagai Undang-Undang.

 

Kontrak itu sah lantaran ditandatangani oleh sekretaris perusahaan, Diana Virgo yang mendapat mendapat kuasa dan wewenang dari Direktur Utama PT Nubika. Hal itu tertuang dalam dealing mandate yang ditandatangani Dirut PT Nubika pada 8 September 2006. Diana sendiri anak dari Dirut PT Nubika. Dalil itu sekaligus membantah dalil gugatan yang menyatakan bahwa Diana tidak berwenang menandatangani perjanjian dan menggunakan uang perusahaan untuk transaksi derivatif.

 

Perjanjian Callable Ratio Forward juga tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/28/PBI/2008 tanggal 12 November 2008 tentang Pembelian Valuta Asing Terhadap Rupiah Kepada Bank. Juga tidak melanggar Surat Edaran BI (SEBI) No. 10/42/DPD tanggal 27 November 2008 mengenai teknis pelaksanaan PBI No. 10/28. Alasannya kedua aturan BI itu berlaku pada November 2008.

 

Berdasarkan Pasal 10 PBI No. 10/28 dan Angka 15 SEBI No. 10/42, dinyatakan kedua aturan itu tidak berlaku bagi transaksi yang berjalan sebelum berlakunya SEBI dan PBI, serta belum jatuh tempo setelah berlakunya PBI dan SEBI. Sementara, kontrak derivatif berlaku sejak September 2008 dan jatuh tempo 9 September 2009. Dengan begitu, Callable Ratio Forward tidak terikat dengan PBI dan SEBI tersebut.

Tags: