Sepanjang tahun 2022, Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan sejumlah kebijakan diantaranya berupa Peraturan Mahkamah Agung (Perma). Terdapat 6 dari 9 Perma yang terbit selama tahun 2022 ini yang memuat aturan tentang penanganan perkara. Antara lain Perma No.1 Tahun 2022, Perma No.2 Tahun 2022, Perma No.3 Tahun 2022, Perma No.6 Tahun 2022, Perma No.7 Tahun 2022, dan Perma No.8 Tahun 2022. Selengkapnya, simak ulasan berikut ini!
Perma No.1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana
Seiring dengan berkembangnya sistem peradilan pidana yang tak hanya berorientasi kepentingan pelaku, melainkan juga perlindungan korban, MA menerbitkan Perma No.1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana. Perma No. 1/2022 ini terbit untuk korban tindak pidana tertentu memperoleh hak restitusi dan kompensasi di samping hak perlindungan. Meski terdapat berbagai UU yang telah mengatur terkait hak restitusi dan kompensasi, tetapi belum ada aturan teknis penyelesaian permohonan hak yang dimaksud.
Terlebih, PP No.43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana dan Pasal 31 ayat (4) PP No.7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah PP No. 35 Tahun 2020 disebutkan mengenai ketentuan selengkapnya terkait teknis pelaksanaan pemeriksaan permohonan restitusi diatur dengan Perma. Dengan demikian, MA menetapkan Perma No.1 Tahun 2022 pada 25 Februari 2022 dan mengundangkannya pada 1 Maret 2022.
Baca Juga:
- Selama 2021, MA Terbitkan 6 Kebijakan Pedoman Penanganan Perkara
- Pimpin IKAHI, Yasardin Bertekad Tingkatkan Kepercayaan Publik terhadap Badan Peradilan
- Mahasiswa Hukum Mau Jadi Hakim? Ini Jenjang Kariernya
Perma No.2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Keberatan Pihak Ketiga yang Beriktikad Baik terhadap Putusan Perampasan Barang Bukan Kepunyaan Terdakwa dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi
Guna melakukan penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi (tipikor), pihak pengadilan memiliki kewenangan memberi pidana tambahan dalam bentuk perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak. Bila barang tersebut dipergunakan untuk atau yang diperoleh dari tipikor yang dimaksud, ada pihak ketiga dengan iktikad baik haknya dirugikan terhadap putusan perampasan barang, MA merujuk pada Pasal 19 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Pemberantasan Tipikor) sebagaimana dirubah melalui UU No.20 Tahun 2001, bisa mengajukan keberatan pada Pengadilan Tipikor maksimal 2 bulan setelah putusan diucapkan dalam sidang.