​​​​​​​Sebuah Pemikiran Tentang Kompensasi Korban Kejahatan
Kolom Arsil

​​​​​​​Sebuah Pemikiran Tentang Kompensasi Korban Kejahatan

​​​​​​​Pembebanan ganti kerugian terhadap pelaku memang wajar, namun masalahnya prosesnya tentu tidak sebentar.

Bacaan 2 Menit

 

Perubahan Paradigma

Permasalahan di atas terjadi karena konsep ganti kerugian bagi korban masih mengandalkan konsep restitusi yang dibebankan secara langsung kepada pelaku. Paradigma ini harusnya mulai diubah, setidaknya untuk korban-korban kejahatan tertentu, seperti korban kejahatan seksual, baik anak maupun orang dewasa, terorisme, perdagangan orang, dan kejahatan HAM berat.

 

Khusus terhadap korban-korban kejahatan tertentu di atas seharusnya paradigmanya tidak lagi mengandalkan kewajiban dari (para) pelaku langsung, namun dari negara berupa pemberian kompensasi. Kompensasi yang dimaksud di sini berbeda dengan kompensasi sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dimana kompensasi oleh negara baru diberikan jika pelaku tidak sanggup membayar restitusi. Berbeda juga dengan kompensasi sebagaimana dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme dimana kompensasi diputus bersamaan dengan putusan pidana terhadap pelaku terorisme tersebut.  

 

Kompensasi yang saya maksud yaitu pemberian ganti kerugian yang dilakukan oleh negara tanpa harus menunggu adanya putusan pidana terhadap pelaku yang diambil dari kas khusus untuk itu. Yang dibutuhkan cukup lah permohonan dari korban kemudian korban diperiksa untuk dipastikan apakah ia memang korban suatu kejahatan atau bukan tanpa harus menunggu pembuktian siapa pelakunya.

 

Dari konsep ini tentu Anda akan bertanya, bagaimana memastikan seseorang adalah korban kejahatan padahal bahkan pelakunya belum ditemukan atau belum tentu bersalah? Sulit? Tidak juga. Paling tidak, tidak selamanya sulit. Saya mau ambil contoh korban terorisme. Jika ada bom meledak di suatu tempat, masih kah perlu dibuktikan apakah para korban adalah korban terorisme atau tidak? Apakah untuk mengetahui itu harus dicari dulu siapa pelakunya? Lha gimana kalau pelakunya itu pelaku bom bunuh diri?

 

Korban kekerasan seksual maupun perdagangan orang juga tentu tidak selalu sulit untuk dibuktikan bahwa mereka adalah korban walaupun pelaku belum ditemukan. Simpelnya, berapa volume planet Uranus dan apakah ada oksigen atau tidak di sana saja bisa diketahui kok walapun belum pernah ada manusia yang ke sana, apalagi hanya untuk mengetahui apakah seseorang adalah korban kejahatan atau tidak.

 

Secara teknis model kompensasi seperti ini bisa dilakukan. Yang diperlukan adalah adanya institusi yang diberikan tanggung jawab untuk memeriksa dan memutuskan apakah seseorang (Pemohon) adalah korban dari kejahatan atau tidak, apakah kejahatan tersebut diperkirakan adalah kejahatan-kejahatan yang dipersyaratkan untuk bisa diberikan kompensasi atau tidak, penilaian kelayakan apakah kerugian yang dialami korban sedemikian seriusnya atau tidak, serta tentu saja anggaran untuk itu. Khusus mengenai institusinya, bisa saja ditetapkan intitusi yang berwenang untuk itu adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

 

Apakah negara akan rugi? Kok negara mengambil alih tanggung jawab pelaku?

 

Dengan konsep kompensasi model ini sebenarnya bukan berarti negara mengambil alih tanggung jawab pelaku, namun ‘membeli’ hak gugat korban terhadap pelaku. Serupa dengan konsep subrograsi dalam perdata. Setelah korban diberikan kompensasi oleh negara, korban kehilangan hak gugatnya terhadap pelaku, ia tidak bisa lagi menuntut ganti kerugian kepada pelaku. Hak gugat beralih kepada negara. Bedanya, dalam konsep ini negara hak gugat negara dikonversi menjadi sanksi pidana dalam bentuk pidana finansial seperti denda dan perampasan barang-barang milik pelaku. Jadi, biaya yang dikeluarkan negara untuk memberikan kompensasi kepada korban dapat tergantikan dengan pidana denda dan perampasan barang tersebut.

Tags:

Berita Terkait