Sedianya dalam praktik peradilan di Indonesia, pihak militer tidak berkeberatan ketika prajuritnya diproses di peradilan umum. Buktinya, prajurit TNI yang diduga melakukan tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat diproses di peradilan umum. Yakni para perwira tinggi TNI diproses oleh penyidik Kejaksaan dan disidang di peradilan Umum.
Tak hanya itu, peran Jaksa Agung dalam penjelasan Pasal 57 UU Peradilan Militer, menyebutkan dalam melaksanakan tugasnya di bidang teknis penuntutan, oditur jenderal (penuntut umum yang selama ini diperankan oleh militer, red), bertanggung jawab kepada Jaksa Agung selaku Penuntut Umum tertinggi di negara RI melalui panglima (panglima TNI) dan dalam pelaksanaan tugas pembinaan, oditurat bertanggung jawab kepada panglima (panglima TNI, red).
Dalam praktiknya memang diperlukan penyesuaian dengan berbagai situasi di Indonesia. Selain itu, tak perlu pula mengikuti sistem hukum yang diterapkan di berbagai negara maju. Kendati demikian, tuntutan konstitusi perihal keinginan adanya persamaan hak di depan hukum alias equality before the law dan tak terbendung. Begitu pula keterbukaan dalam mengadili prajurit TNI yang melakukan tindak pidana di peradilan umum, maka perlu dilakukan dengan mengedepankan prinsip win-win solution.
Reformasi peradilan militer
Instrumen hukum dalam proses hukum acara pidana dalam kekuasaan peradilan umum terdiri dari beberapa tahap. Yakni tahap mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan proses persidangan. Tak behenti di situ, masih terdapat tahap pembinaan bagi para narapidana di lembaga pemasyarakatan (Lapas).
Nah tahap penyelidikan dan penyidikan bila ditelisik berdasarkan berbagai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, praktiknya tak saja dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan, namun pula oleh TNI Angkatan Laut, Bea Cukai, Imigrasi hingga Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Merujuk Pasal 1 angkat 6 KUHAP, maka pihak yang berwenang melakukan penuntutan hanyalah jaksa. Jaksa, merupakan pegawai Kejaksaan Republik Indonesia yang bekerja tak saja di lingkungan Kejaksaan RI, namun juga lingkungan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sedangkan proses persidangan perkara pidana di peradilan umum, mulai di tingkat Pengadilan Negeri, Tinggi, hingga MA dipimpin oleh majelis hakim. Yakni majelis yang terdiri dari hakim karier dan ad hoc. Tentunya mereka para hakim yang berada di lingkungan MA. Sementara amanah yang utama dalam Pasal 3 ayat (4) a TAP MPR No.VII/2000 adalah mengatur tentang Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum tunduk kepada peradilan umum.
Lantas peradilan umum menjadi bagian dari lingkungan peradilan di bawah MA yang fungsinya menjalankan kekuasaan kehakiman bagi mereka rakyat pencari keadilan. Kemudian banyak perkara yang menjadi kewenangan peradilan umum untuk memeriksanya. Yakni, perkara-perkara yang bersifat umum. Artinya, ‘umum orang-orangnya’ dan ‘umum masalah atau kasusnya’.