Akhirnya, DPR Setujui RUU Anti-Terorisme Jadi UU
Utama

Akhirnya, DPR Setujui RUU Anti-Terorisme Jadi UU

Dalam draf mulai mengatur soal masa perpanjangan penangkapan, penahanan, kriminalisasi baru mulai persiapan, pelatihan militer, hingga jaminan bagi hak-hak korban mendapatkan restitusi, kompensasi, pelayaan medis yang menjadi tangung jawab negara.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Rapat Paripurna DPR. Foto: RES
Rapat Paripurna DPR. Foto: RES

Setelah membutuhkan waktu dua tahun melakukan pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, akhirnya disahkan menjadi UU. Keputusan mengesahkan menjadi  RUU tersebut menjadi UU setelah mendapat persetujuan dari sepuluh fraksi partai di parlemen. Tak membutuhkan waktu panjang, palu sidang rapat paripurna diketuk Wakil Ketua DPR Agus Hermanto.

 

“Apakah RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dapat disetujui menjadi UU?” ujar Agus Hermanto dalam rapat paripurna di Gedung DPR, Jumat (25/5/2018). Sejumlah anggota dewan yang hadir serentak memberikan persetujuan.

 

Ketua Pansus dan Panja RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Muhammad Syafi’i dalam laporan akhirnya berpandangan pembahasan butuh waktu dua tahun. Berbagai pemangku kepentingan dilibatkan untuk diminta pandangan dan masukannya. Dalam RUU yang baru saja disahkan menjadi UU terdapat banyak perubahan esensial/substansial dalam rangka menguatkan pengaturan yang telah ada dalam UU 15/2003.

 

Misalnya, adanya perubahan signifikan terhadap sistematika UU 15/2003. Mulai penambahan Bab Pencegahan, Bab Soal Korban, Bab Kelembagaan, Bab Pengawasan  hingga peran TNI. Dengan begitu, UU Anti Terorisme hasil perubahan mengatur secara komprehensif. “Tidak hanya (mengatur) bicara soal pemberantasan, tapi juga aspek pencegahan, penanggulangan, pemulihan, kelembagaan, dan pengawasan,” ujarnya. Baca Juga: Jelang Disahkan, Alternatif Definisi Terorisme Ini Belum Disepakati

 

Sebelumnya, dalam pembahasan akhir persoalan definisi masih diperdebatkan. Namun akhirnya disepakati definisi terorisme alternatif kedua. Yakni “Terorisme  adalah perbuatan  yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan  suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran  terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.”

 

Syafi’i melanjutkan melalui pengaturan definisi terorisme ini memperjelas penafsiran delik-delik yang berpotensi multitafsir. Hal tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip umum hukum pidana dan Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional yang menyebutkan definisi mengenai kejahatan harus ditafsirkan dengan ketat dan tidak boleh diperluas dengan analogi.

 

Terkait penindakan, kata Syafi’i, dalam draf UU menghapus sanksi pidana pencabutan status kewarganegaraan sebagaimana tertuang dalam Pasal 12B draf RUU yang disodorkan pemerintah. Namun, terhadap pelaku yang diganjar hukuman pidana terorisme dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dan pas lintas batas dalam jangka waktu paling lama 5 tahun.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait