Polisi Jabat Plt Gubernur, Ini UU yang Potensi Dilanggar Mendagri
Berita

Polisi Jabat Plt Gubernur, Ini UU yang Potensi Dilanggar Mendagri

Mulai UU Pilkada, UU ASN, hingga UU Polri.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Baca juga:

 

Acuan Mendagri akan menunjuk anggota Polri aktif menjadi pelaksana tugas gubernur merujuk pada Permendagri No.1 Tahun 2018 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara bagi Kepala Daerah. Pasal 4 ayat (2) Permendagri memuat norma yang menyatakan bahwa yang menjadi penjabat gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintah pusat/provinsi.

 

Padahal, kata Mustafa, Permendagri tersebut justru bertentangan dengan materi muatan UU Pilkada. “Dasar aturan itulah kemudian Mendagri mengasumsikan bahwa perwira tinggi Polri merupakan jabatan yang setingkat dengan pimpinan tinggi madya. Padahal, dalam ketentuan UU Pilkada telah diatur secara limitatif bahwa hanya pejabat pimpinan tinggi madya saja yang dapat menjadi penjabat Gubernur,” ujarnya.

 

Selain itu, lanjutnya, langkah rencana penunjukan itu pun melanggar UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, khususnya Pasal 28 ayat (3). Pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian menyebutkan, “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar Kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas Kepolisian.”  

 

Merujuk pasal itu, terangnya, apabila anggota Polri aktif yang ingin menduduki jabatan di luar kepolisian, maka terlebih dahulu mesti mengundurkan diri atau pensiun dari korps bhayangkara. Dengan begitu, netralitas institusi dapat terjaga dan tidak menimbulkan ‘dwifungsi’ Polri sebagaimana ABRI di era orde baru. “(Amanat reformasi) Mestinya Polri bersikap netral di tengah berkehidupan politik,” ujarnya mengingatkan.

 

Dia menilai penunjukan pelaksana tugas gubernur dari unsur kepolisian secara tidak langsung (seolah-olah) menjadikan dua provinsi terbesar di Sumatera dan Jawa itu nyaris seperti daerah darurat sipil. Merujuk UU No. 23/Prp/ 1959 tentang Keadaan Bahaya yang mengatur mengenai darurat sipil, khususnya Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU Keadaan Bahaya.

 

Pasal 4 ayat (1) UU Keadaan Bahaya menyebutkan, Di daerah-daerah penguasaan keadaan darurat sipil dilakukan oleh Kepala Daerah serendah-rendahnya dari Daerah tingkat II selaku Penguasa Darurat Sipil Daerah yang daerah hukumnya ditetapkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.”

Tags:

Berita Terkait