Fajri juga mempertanyakan posisi MKD yang hanya mengurus masalah etik di DPR. Dalam Pasal 122 huruf K RUU MD3 yang baru saja disahkan, MKD bisa mengambil langkah hukum terhadap orang per orangan, kelompok orang, atau badan hukum yang dianggap merendahkan martabat DPR sebagai lembaga ataupun anggota DPR itu sendiri.
“MKD ini apa? Dia bukan aparat penegak hukum, penindakan ini apa? Dalam proses hukum ada yang namanya penggeledahan, penangkapan, nah kalau MKD itu apa? Kan persoalan etik. Ini bahaya. Kita belum tau arahnya ke mana, karena hal yang sifatnya mencemarkan nama baik, perburuk citra tidak jelas, dan ini katanya diatur di Peraturan DPR, ini melanggar, karena suatu aturan yang terkait pihak lain apalagi potensi langgar HAM harus diatur undang-undang,” terang Fajri.
Poin Kontroversial RUU MD3
Poin RUU MD3 | Kontroversi | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Catatan: Pasal ini merinci jumlah pimpinan MPR bertambah 3 orang. Ketetapan 3 pimpinan baru nanti disesuaikan berdasarkan fraksi pemenang pemilu yang belum duduk di kursi pimpinan MPR. 3 fraksi itu yaitu PDIP, Gerindra dan PKB
Catatan: Mayoritas fraksi dalam Baleg sepakat kursi tersebut diduduki oleh perwakilan dari Fraksi PDIP sebagai pemenang pemilu 2014. Sebelumnya, pimpinan DPR yang berjumlah 5 orang. Ketua DPR Bambang Soesatayo (Golkar) dan para wakilnya Fadli Zon (Gerindra), Taufik Kurniawan (PAN), Agus Hermanto (Demokrat), Fahri Hamzah (PKS)
Catatan: Pasal ini menyebutkan pimpinan DPD bertambah 1 anggota. Hal itu membuat total pimpinan DPD menjadi 4 orang. Untuk pimpinan DPD yang sekarang dijabat oleh Ketua DPD Oesman Sapta Odang bersama dua wakilnya Darmayanti dan Nono Sampono
Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
Dalam hal menjalankan panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat 5 huruf b, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera setiap orang untuk paling lama 30 (tiga puluh) Hari. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dan penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau; c. disangka melakukan tindak pidana khusus |
Sumber: Surat Menteri Keuangan No S-520/MK.02/2015 Catatan: Tabel diatas merupakan perbedaan anggota DPR dan pimpinan DPR, belum mencakup anggota dan pimpinan DPD maupun MPR.
Ada frasa penyidik dalam pasal tersebut. Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang dberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan” Dalam Pasal 45 ayat (1) UU KPK: Penyidik adalah Penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK Lalu apakah DPR termasuk dalam kategori penyidik? Mari kita lihat bunyi Pasal 20A ayat (1) amandemen kedua UUD 1945 disebutkan jika DPR mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Kemudian dalam Pasal 73 ayat (5) RUU MD3 yang telah disahkan, disebut DPR bisa meminta Kepolisian untuk melakukan penyanderaan selama 30 hari. KUHAP memang memperbolehkan upaya paksa, tetapi seperti yang dijelaskan diatas, upaya paksa itu dilakukan oleh penyidik. Kemudian dalam KUHAP sendiri upaya paksa yang dimaksud diataranya pemanggilan paksa, penangkapan, penahanan, dan penggeledahan. Dan dari penelusuran hukumonline, tidak ada frasa “penyanderaan” dalam suatu upaya paksa.
Fajri Nursyamsi, peneliti PSHK; “MKD ini apa? Dia bukan aparat penegak hukum, penindakan ini apa? Dalam proses hukum ada yang namanya penggeledahan, penangkapan, nah kalau MKD itu apa? Kan persoalan etik. Ini bahaya. Kita belum tau arahnya ke mana, karena hal yang sifatnya mencemarkan nama baik, perburuk citra tidak jelas, dan ini katanya diatur di Peraturan DPR, ini melanggar,karena suatu aturan yang terkait pihak lain apalagi potensi langgar HAM harus diatur undang-undang,” terang Fajri.
MK dalam putusannya membatalkan jika ada anggota dewan yang terkait kasus hukum jika diperiksa harus seizing MKD. Dikutip dari laman mahkamahkonstitusi.go.id perihal putusan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) Pasal 245 ayat (1). Putusan tersebut menyatakan penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana tidak perlu seizin Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), melainkan harus dengan izin tertulis dari Presiden. Dalam pertimbangannya Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyatakan Proses pengaturan persetujuan tertulis dari MKD kepada anggota DPR yang sedang dilakukan penyidikan, menurut Mahkamah tidak tepat karena MKD adalah alat kelengkapan DPR yang tidak berhubungan dengan sistem peradilan pidana. Terlebih proses pengisian anggota MKD yang bersifat dari dan oleh anggota DPR berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. “Oleh karena itu, menurut Mahkamah, proses persetujuan tertulis terhadap anggota DPR yang akan dilakukan penyidikan harus dikeluarkan oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara,” ujar Wahiduddin. |
Oleh karena itu Fajri juga meminta agar Presiden Joko Widodo untuk tidak menandatangani RUU MD3 meskipun hal itu tidak membuat RUU tersebut dibatalkan. Menurutnya, hal ini penting sebagai sikap politik Presiden yang akan memberi kesan kepada masyarakat dirinya tidak menyetujui langkah DPR ini. Selain itu, Fajri juga berharap agar Presiden bisa mendesak DPR untuk merevisi kembali RUU MD3 tersebut.
Jika dicermati, meskipun Presiden tidak menandatangani, hal itu tidak akan mengubah fakta bahwa RUU MD3 tetap akan berjalan. Pertanyaan yang timbul kemudian bagaimana caranya koalisi masyarakat sipil berusaha untuk membatalkan RUU MD3 yang di dalamnya terdapat sejumlah poin yang dianggap kontroversial?
“Judicial Review (ke MK) juga salah satu yang diperhitungkan, tapi itu kan butuh proses, cukup lama juga, tapi ini patut dicoba nanti,” tandasnya. Selain itu, pertimbangan lainnya tidak akan langsung melakukan uji materi karena berkaca akan keputusan hak angket beberapa waktu lalu.
MK diketahui memutuskan KPK sebagai unsur eksekutif sehingga DPR dapat mengajukan hak angket kepada lembaga antirasuah ini. Putusan ini juga menuai kritik sejumlah pihak karena selain berbeda dengan putusan MK sebelumnya, putusan tersebut juga rentan dikaitkan dengan pertemuan antara Ketua MK Arief Hidayat dengan sejumlah anggota dewan.