Poin-poin Kontroversial UU MD3 Baru yang Berpotensi Langgar Konstitusi
Utama

Poin-poin Kontroversial UU MD3 Baru yang Berpotensi Langgar Konstitusi

​​​​​​​Pengesahan RUU ini hanya dianggap menguntungkan anggota dewan karena memberikan hak imunitas secara berlebihan.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

Fajri juga mempertanyakan posisi MKD yang hanya mengurus masalah etik di DPR. Dalam Pasal 122 huruf K RUU MD3 yang baru saja disahkan, MKD bisa mengambil langkah hukum terhadap orang per orangan, kelompok orang, atau badan hukum yang dianggap merendahkan martabat DPR sebagai lembaga ataupun anggota DPR itu sendiri.

“MKD ini apa? Dia bukan aparat penegak hukum, penindakan ini apa? Dalam proses hukum ada yang namanya penggeledahan, penangkapan, nah kalau MKD itu apa? Kan persoalan etik. Ini bahaya. Kita belum tau arahnya ke mana, karena hal yang sifatnya mencemarkan nama baik, perburuk citra tidak jelas, dan ini katanya diatur di Peraturan DPR, ini melanggar, karena suatu aturan yang terkait pihak lain apalagi potensi langgar HAM harus diatur undang-undang,” terang Fajri. 

Poin Kontroversial RUU MD3

Poin RUU MD3

Kontroversi

  • Pasal penambahan pimpinan parlemen Pasal 15: Pimpinan MPR terdiri atas 1 orang ketua dan 7 orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR.

Catatan: Pasal ini merinci jumlah pimpinan MPR bertambah 3 orang. Ketetapan 3 pimpinan baru nanti disesuaikan berdasarkan fraksi pemenang pemilu yang belum duduk di kursi pimpinan MPR. 3 fraksi itu yaitu PDIP, Gerindra dan PKB

  • Pasal 84 bahwa Pimpinan DPR terdiri atas 1 orang ketua dan 5 wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR.

Catatan: Mayoritas fraksi dalam Baleg sepakat kursi tersebut diduduki oleh perwakilan dari Fraksi PDIP sebagai pemenang pemilu 2014. Sebelumnya, pimpinan DPR yang berjumlah 5 orang. Ketua DPR Bambang Soesatayo (Golkar) dan para wakilnya Fadli Zon (Gerindra), Taufik Kurniawan (PAN), Agus Hermanto (Demokrat), Fahri Hamzah (PKS)

  • Pasal 260 terkait pimpinan DPD terdiri atas satu orang ketua dan tiga orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPD dalam sidang paripurna.

Catatan: Pasal ini menyebutkan pimpinan DPD bertambah 1 anggota. Hal itu membuat total pimpinan DPD menjadi 4 orang. Untuk pimpinan DPD yang sekarang dijabat oleh Ketua DPD Oesman Sapta Odang bersama dua wakilnya Darmayanti dan Nono Sampono

  • Pasal 73 bahwa DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memanggil setiap orang secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR. Setiap orang wajib memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat 1. 

Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Pimpinan DPR mengajukan permintaan secara tertulis kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia paling sedikit memuat dasar dan alasan pemanggilan paksa serta nama dan alamat pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat yang dipanggil paksa; 
  2. Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a; dan
  3. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan Kepala Kepolisian Daerah di tempat domisili pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat yang dipanggil paksa untuk dihadirkan memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat 4.

Dalam hal menjalankan panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat 5 huruf b, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera setiap orang untuk paling lama 30 (tiga puluh) Hari. 

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dan penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

  • Pasal 122 huruf (k) (MKD bertugas) mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota
  • Pasal 245, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau; c. disangka melakukan tindak pidana khusus

  • Penambahan pimpinan parlemen. Untuk anggota DPR saja terdapat perbedaan gaji antara ketua, wakil dan anggota. Dengan adanya penambahan pimpinan dalam hal ini wakil ketua, maka secara otomatis terjadi penambahan gaji dan juga tunjangan yang berasal dari keuangan negara.

Merangkap Wakil Ketua

Anggota

Selisih

Gaji Pokok

Rp4,62 juta

Tunjangan Istri (10% GP)

Rp462 ribu

Tunjangan anak (2 anak x 2 % GP)

Rp184,800

Tunjangan Jabatan

Rp 15,6 juta

Tunjangan Kehormatan

Rp6,45 juta

Tunjangan Komunikasi Intensif

Rp16,009 juta

Tunjangan Peningkatan Fungsi Pengawasan dan Anggaran

Rp4,5 juta

Uang Pensiun (60% GP)

Rp2,772 juta

Gaji Pokok

Rp4,2 juta

Tunjangan Istri (10% GP)

Rp420 ribu

Tunjangan anak (2 anak x 2 % GP)

Rp168,000

Tunjangan Jabatan

Rp9,7 juta

Tunjangan Kehormatan

Rp5,58 juta

Tunjangan Komunikasi Intensif

Rp15,554 juta

Tunjangan Peningkatan Fungsi Pengawasan dan Anggaran

Rp3,75 juta

Uang Pensiun (60% GP)

Rp2,52 juta

Rp420 ribu

Rp42 ribu

Rp16,800

Rp5,9 juta

Rp870 ribu

Rp455 ribu

Rp750 ribu

Rp252 ribu

Sumber: Surat Menteri Keuangan No S-520/MK.02/2015

Catatan: Tabel diatas merupakan perbedaan anggota DPR dan pimpinan DPR, belum mencakup anggota dan pimpinan DPD maupun MPR.

  • DPR melakukan pemanggilan paksa. Dalam pasal 112 KUHAP ayat (1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut; ayat (2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.

Ada frasa penyidik dalam pasal tersebut. Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang dberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”

Dalam Pasal 45 ayat (1) UU KPK: Penyidik adalah Penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK

Lalu apakah DPR termasuk dalam kategori penyidik? Mari kita lihat bunyi Pasal 20A ayat (1) amandemen kedua UUD 1945 disebutkan jika DPR mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.

Kemudian dalam Pasal 73 ayat (5) RUU MD3 yang telah disahkan, disebut DPR bisa meminta Kepolisian untuk melakukan penyanderaan selama 30 hari.

KUHAP memang memperbolehkan upaya paksa, tetapi seperti yang dijelaskan diatas, upaya paksa itu dilakukan oleh penyidik. Kemudian dalam KUHAP sendiri upaya paksa yang dimaksud diataranya pemanggilan paksa, penangkapan, penahanan, dan penggeledahan. Dan dari penelusuran hukumonline, tidak ada frasa “penyanderaan” dalam suatu upaya paksa.

  • Salah satu tugas MKD mengambil langkah hukum.

Fajri Nursyamsi, peneliti PSHK; “MKD ini apa? Dia bukan aparat penegak hukum, penindakan ini apa? Dalam proses hukum ada yang namanya penggeledahan, penangkapan, nah kalau MKD itu apa? Kan persoalan etik. Ini bahaya. Kita belum tau arahnya ke mana, karena hal yang sifatnya mencemarkan nama baik, perburuk citra tidak jelas, dan ini katanya diatur di Peraturan DPR, ini melanggar,karena suatu aturan yang terkait pihak lain apalagi potensi langgar HAM harus diatur undang-undang,” terang Fajri. 

  • Pemanggilan anggota dewan harus seizing presiden atas pertimbangan MKD.

MK dalam putusannya membatalkan jika ada anggota dewan yang terkait kasus hukum jika diperiksa harus seizing MKD. Dikutip dari laman mahkamahkonstitusi.go.id perihal putusan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) Pasal 245 ayat (1).

Putusan tersebut menyatakan penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana tidak perlu seizin Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), melainkan harus dengan izin tertulis dari Presiden.

Dalam pertimbangannya Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyatakan Proses pengaturan persetujuan tertulis dari MKD kepada anggota DPR yang sedang dilakukan penyidikan, menurut Mahkamah tidak tepat karena MKD adalah alat kelengkapan DPR yang tidak berhubungan dengan sistem peradilan pidana. Terlebih proses pengisian anggota MKD yang bersifat dari dan oleh anggota DPR berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

“Oleh karena itu, menurut Mahkamah, proses persetujuan tertulis terhadap anggota DPR yang akan dilakukan penyidikan harus dikeluarkan oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara,” ujar Wahiduddin.

 

Oleh karena itu Fajri juga meminta agar Presiden Joko Widodo untuk tidak menandatangani RUU MD3 meskipun hal itu tidak membuat RUU tersebut dibatalkan. Menurutnya, hal ini penting sebagai sikap politik Presiden yang akan memberi kesan kepada masyarakat dirinya tidak menyetujui langkah DPR ini. Selain itu, Fajri juga berharap agar Presiden bisa mendesak DPR untuk merevisi kembali RUU MD3 tersebut.

Jika dicermati, meskipun Presiden tidak menandatangani, hal itu tidak akan mengubah fakta bahwa RUU MD3 tetap akan berjalan. Pertanyaan yang timbul kemudian bagaimana caranya koalisi masyarakat sipil berusaha untuk membatalkan RUU MD3 yang di dalamnya terdapat sejumlah poin yang dianggap kontroversial?

“Judicial Review (ke MK) juga salah satu yang diperhitungkan, tapi itu kan butuh proses, cukup lama juga, tapi ini patut dicoba nanti,” tandasnya. Selain itu, pertimbangan lainnya tidak akan langsung melakukan uji materi karena berkaca akan keputusan  hak angket beberapa waktu lalu.

MK diketahui memutuskan KPK sebagai unsur eksekutif sehingga DPR dapat mengajukan hak angket kepada lembaga antirasuah ini. Putusan ini juga menuai kritik sejumlah pihak karena selain berbeda dengan putusan MK sebelumnya, putusan tersebut juga rentan dikaitkan dengan pertemuan antara Ketua MK Arief Hidayat dengan sejumlah anggota dewan.

Tags:

Berita Terkait