Melirik Kompensasi, Bantuan Medis dan Rehabilitasi Korban dalam UU Anti Terorisme
Utama

Melirik Kompensasi, Bantuan Medis dan Rehabilitasi Korban dalam UU Anti Terorisme

​​​​​​​Ketentuan soal korban yang diatur dalam UU Anti Terorisme ini berlaku surut.

Hamalatul Qurani
Bacaan 2 Menit

 

Pasal 43L

  1. Korban langsung yang diakibatkan dari tindak pidana terorisme sebelum Undang-Undang ini mulai berlaku dan belum mendapatkan kompensasi, bantuan medis atau rehabilitasi psikososial dan psikologis berhak mendapatkan kompensasi, bantuan medis atau rehabilitasi psikososial dan psikologis.
  2. Korban langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan permohonan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis kepada lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang perlindungan saksi dan korban.
  3. Pengajuan permohonan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan dilengkapi dengan surat penetapan korban yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
  4. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku

 

Untuk diketahui, dalam UU  Anti Terorisme ini, korban terorisme dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan Pasal 35A ayat (2) UU Anti Terorisme, yakni korban langsung dan korban tidak langsung. Andri menjelaskan bahwa hanya korban langsung yang berada di bawah tanggung jawab negara, sehingga hanya korban langsung pulalah yang bisa mendapatkan hak-hak sebagaimana diatur dalam UU ini.

 

Adapun yang dimaksud sebagai korban langsung dapat dilihat pada penjelasan Pasal 35A ayat (2) huruf a, yakni korban yang langsung mengalami dan merasakan akibat tindak pidana terorisme. Misalnya korban meninggal atau luka berat karena ledakan bom.

 

Sedangkan yang dimaksud dengan korban tidak langsung, lanjut Andri, diatur pada Pasal 35A ayat (2) huruf b, yakni mereka yang menggantungkan hidupnya kepada korban langsung, misalnya istri dari korban langsung tersebut. “Akan tetapi, untuk menentukan seorang korban sesuai dengan kriteria yang ditetapkan berdasarkan UU a quo, harus ada penetapan dari BNPT terlebih dahulu, mengingat memang sifatnya yang terbatas, tidak semua korban diberlakukan seperti itu, yang pasti harus korban langsung,” kata Andri.

 

Untuk melaksanakan ketentuan soal hak-hak korban yang diatur dalam UU Anti Terorisme ini, ungkap Andri, tentu nantinya akan ada banyak mandat aturan atau peraturan pelaksana yang harus dibuat. PP itu harus keluar dalam jangka waktu satu tahun setelah UU ini diundangkan, papar Andri.

 

Baca:

 

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai menyambut baik UU Anti terorisme yang baru disetujui DPR tersebut. Semendawai menyebut bahwa sebelumnya hanya dua bentuk hak yang dimiliki oleh korban terorisme, yakni kompensasi dan restitusi sedangkan dalam UU Anti Terorisme ini diperbanyak.

Tags:

Berita Terkait