Pasal 43L
|
Untuk diketahui, dalam UU Anti Terorisme ini, korban terorisme dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan Pasal 35A ayat (2) UU Anti Terorisme, yakni korban langsung dan korban tidak langsung. Andri menjelaskan bahwa hanya korban langsung yang berada di bawah tanggung jawab negara, sehingga hanya korban langsung pulalah yang bisa mendapatkan hak-hak sebagaimana diatur dalam UU ini.
Adapun yang dimaksud sebagai korban langsung dapat dilihat pada penjelasan Pasal 35A ayat (2) huruf a, yakni korban yang langsung mengalami dan merasakan akibat tindak pidana terorisme. Misalnya korban meninggal atau luka berat karena ledakan bom.
Sedangkan yang dimaksud dengan korban tidak langsung, lanjut Andri, diatur pada Pasal 35A ayat (2) huruf b, yakni mereka yang menggantungkan hidupnya kepada korban langsung, misalnya istri dari korban langsung tersebut. “Akan tetapi, untuk menentukan seorang korban sesuai dengan kriteria yang ditetapkan berdasarkan UU a quo, harus ada penetapan dari BNPT terlebih dahulu, mengingat memang sifatnya yang terbatas, tidak semua korban diberlakukan seperti itu, yang pasti harus korban langsung,” kata Andri.
Untuk melaksanakan ketentuan soal hak-hak korban yang diatur dalam UU Anti Terorisme ini, ungkap Andri, tentu nantinya akan ada banyak mandat aturan atau peraturan pelaksana yang harus dibuat. PP itu harus keluar dalam jangka waktu satu tahun setelah UU ini diundangkan, papar Andri.
Baca:
- Alasan Masa Penahanan di UU Anti Terorisme Membengkak Hingga 60 Persen
- Penanganan Terorisme Harus Berpijak pada Dua Hal Ini
- Begini ‘Cacat’ Definisi Terorisme yang Disepakati DPR
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai menyambut baik UU Anti terorisme yang baru disetujui DPR tersebut. Semendawai menyebut bahwa sebelumnya hanya dua bentuk hak yang dimiliki oleh korban terorisme, yakni kompensasi dan restitusi sedangkan dalam UU Anti Terorisme ini diperbanyak.