Hukum Harta Perkawinan yang Berlaku Sesudah Diundangkannya UU Perkawinan (Jilid III)
Kolom Hukum J. Satrio

Hukum Harta Perkawinan yang Berlaku Sesudah Diundangkannya UU Perkawinan (Jilid III)

​​​​​​​Hukum harta perkawinan punya pengaruh terhadap Hukum Jaminan -prinsip tanggung jawab debitur terhadap pihak ketiga- Hukum Kepailitan dan Hukum Waris.

RED
Bacaan 2 Menit

 

Kalau hukum harta perkawinan menyangkut hutang-hutang debitur, maka mestinya hukum harta perkawinan juga ada kaitannya dengan Hukum Kepailitan. Bukankah kepailitan merupakan akibat dari tanggung jawab debitur atas hutang-hutangnya terhadap pihak ketiga?

 

Demikian juga hukum harta perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan Hukum Waris, sebab harta yang ditinggalkan oleh pewarislah yang akan beralih dan dibagi di antara para ahli waris. Untuk itu tentunya perlu ditetapkan (dalam Surat Keterangan Waris) harta mana yang menjadi menjadi warisan pewaris dan untuk itu harus ditentukan -dengan mendasarkan kepada hukum harta perkawinan- harta keluarga yang mana saja adalah harta pewaris pada saat ia meninggal.

 

Kesimpulannya: Hukum harta perkawinan punya pengaruh terhadap Hukum Jaminan -prinsip tanggung jawab debitur terhadap pihak ketiga- Hukum Kepailitan dan Hukum Waris.

 

Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan peran yang begitu besar, yang dimainkan oleh hukum harta perkawinan, kita mestinya perlu patokan kokoh mengenai hukum harta perkawinan yang sekarang berlaku. Kalau undang-undang hanya mengatakan, bahwa ada “hal-hal dalam undang-undang ini yang memerlukan peraturan pelaksanaan”,[2] mestinya kita bisa -atas dasar pengalaman dan doktrin yang selama ini dianut- menyimpulkan, ketentuan mana dalam UU Perkawinan yang memerlukan peraturan pelaksanaan.

 

Dalam kaitannya dengan masalah peraturan pelaksanaan, perlu disadari, bahwa dari redaksi Pasal 67 ayat (2) UU Perkawinan juga nampak diakui, bahwa -berlainan dengan Burgerlijk Wetboek (BW)- di dalam UU Perkawinan yang  diatur baru yang pokok-pokok saja,[3] dan dari Pasal 67 ayat (1) UU Perkawinan nampak sekali disadari, bahwa ketentuan pokok yang  ada memerlukan penjabaran lebih lanjut, yang nantinya akan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah, dan mestinya, Peraturan Pemerintah yang bersangkutan, akan dijabarkan lagi dalam peraturan yang lebih rendah.

 

Dari apa yang disebutkan di atas, kiranya bisa kita simpulkan, bahwa pada waktu UU Perkawinan diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974, undang-undang itu -sepanjang masih memerlukan peraturan pelaksanaan- belum berlaku (belum dapat dilaksanakan) secara efektif, yang mestinya berarti belum bisa -paling tidak belum bisa sepenuhnya- dijalankan dalam praktik.

 

Dan sehubungan dengan itu, perlu juga diingat, bahwa dari bunyi Pasal 66 UU Perkawinan dapat kita simpulkan, ketentuan dalam perundang-undangan yang disebut di sana masih tetap berlaku, sepanjang belum diatur dalam UU Perkawinan, dan di dalamnya mestinya -yang bisa masih tetap berlaku- termasuk peraturan pelaksanaan perundang-undangan yang disebutkan di sana.

Tags:

Berita Terkait