Hakim Wafat Meninggalkan Nama
Advokasi Hakim:

Hakim Wafat Meninggalkan Nama

Masalah kesejahteraan hakim dalam menjalankan tugas, terutama layanan kesehatan dan penanganan hakim yang meninggal dalam tugas, perlu mendapat perhatian negara.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

Seorang hakim yang bertugas di Banten juga bercerita tentang kematian seorang hakim saat mengikuti pendidikan dan pelatihan di Pusdiklat Mahkamah Agung. Hakim yang meninggal saat diklat itu akhirnya dimakamkan di Sumatera Selatan. “Setahu saya isterinya dulu juga seorang hakim, tapi sudah meninggal karena kanker,” cerita sang hakim.

Daftar hakim yang meninggal dalam tugas bisa terus bertambah. Kematian adalah sesuatu yang alami bagi makhluk hidup dan tidak bisa diprediksi. Tak terkecuali bagi hakim. Tetapi beban kerja hakim acapkali dianggap ikut memicu penurunan kesehatan bagi para penyandang profesi mulia itu. Ketua Pengadilan Negeri Semarang, Purwono Edi Santosa, tak menampik beban kerja sebagian hakim, apalagi yang bertugas sebagai hakim kasus korupsi. Kasus korupsi dari 36 daerah kabupaten/kota ditangani Pengadilan Tipikor Semarang, ditambah kasus-kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. “Seringkali sidangnya sampai malam,” ujarnya. “Beban kerja dan perhatian terhadap hakim tidak balance,” tegasnya.

(Baca juga: Komisi Yudisial Gagas Tes Narkoba dalam Seleksi Calon Hakim Agung)

Aspek kesehatan hakim salah satu yang disorot. Meninggalnya sejumlah hakim dalam tugas mungkin saja terjadi karena kurangnya pemeriksaan kesehatan. Pasal 48 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tegas menyatakan ‘negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman”. Jaminan keamanan dan kesejahteraan itu antara lain dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung; dan perubahannya lewat PP No. 74 Tahun 2016.

Ada 10 hak keuangan dan fasilitas bagi hakim yang disebut dalam Pasal 2 PP No. 94 Tahun 2012. Selain gaji pokok, tunjangan jabatan, dan jaminan kesehatan, ada jaminan keamanan, rumah negara, fasilitas transportasi, biaya perjalanan dinas, kedudukan protokoler, penghasilan pensiun, dan tunjangan lain. Berkaitan dengan jaminan kesehatan, PP ini hanya menyebut hakim diberikan jaminan kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan.

Sejumlah hakim bercerita kepada hukumonline, tidak ada yang berbeda dari jaminan kesehatan kepada hakim dibandingkan warga biasa. Hakim mendapatkan pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Seorang dokter yang bertugas memeriksa kesehatan hakim menjelaskan obat yang tersedia adalah obat untuk sakit ringan seperti sakit kepala dan demam. Untuk tindakan medis lanjutan ke dokter spesialis, hakim harus membayar sendiri biayanya.

(Baca juga: Urgensi Jaminan Keamanan dan Kesehatan Sang ‘Wakil Tuhan’)

Hakim-hakim yang bertugas dalam persidangan Tipikor hingga larut malam, misalnya, tak ditopang layanan kesehatannya oleh negara; tak dihitung sebagai lembur. Kopi atau makanan ringan selagi istirahat sidang acapkali harus dikeluarkan dari kantong para hakim. Selama itu pula hakim memeras otak dan tenaga untuk mengungkap fakta persidangan, bersama aparat penegak hukum lainnya.

Cerita lain tentang layanan negara kepada para hakim muncul dari wafatnya hakim Siyoto. Hakim Tipikor Pengadilan Negeri Semarang ini dikuburkan di daerah asalnya di Jember. Biaya yang dikeluarkan mulai dari pemeriksaan kematian di rumah sakit hingga pemberangkatan dari Semarang ke Jember menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Semakin jauh tempat tugas seorang hakim yang meninggal biaya yang dibutuhkan untuk pemberangkatan daerah asal semakin besar. Sayangnya, negara tak menanggung biaya pengurusan jenazah seorang hakim yang meninggal dalam tugas. Demikian pula perhatian negara terhadap anak-anak sang hakim yang masih kecil.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait