Dalil tentang Kebatalan Mutlak

Dalil tentang Kebatalan Mutlak

Suatu perjanjian dianggap batal meskipun tidak dimintakan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian. Konsekuensinya, perjanjian dianggap tidak pernah ada, dan para pihak kembali ke keadaan semula.
Dalil tentang Kebatalan Mutlak

Dalam suatu sengketa perdata, setiap penggugat wajib menyampaikan dalil-dalil yang memperkuat gugatannya; sebaliknya tergugat juga harus menangkis gugatan itu dengan dalil-dalil pula. Apabila sengketa itu berkaitan dengan perjanjian, maka para pihak punya kewajiban untuk memperkuat dalilnya tentang mengapa wanprestasi yang dilakukan tergugat, misalnya, harus dihukum. Bagi hakim, tugas menilai dalil-dalil tentang sengketa perjanjian itu tidak lepas dari syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Dalam praktiknya, syarat-syarat perjanjian itu sangat ditentukan oleh kesepakatan para pihak. Namun, adakalanya undang-undang mempersyaratkan pembuatan suatu perjanjian harus memuat klausul tertentu atau sebaliknya melarang mencantumkan klausul tertentu. Dalil para pihak menjadi kunci bagi majelis hakim ketika memeriksa, menilai, dan memutus sengketa.

Salah satu yang dipakai oleh penggugat adalah dalil tentang kebatalan mutlak perjanjian. Artinya, dalam gugatannya penggugat meminta pembatalan mutlak suatu perjanjian baik perjanjian antara penggugat dengan tergugat atau perjanjian antara tergugat dengan pihak ketiga yang merugikan penggugat. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan Hukumonline ke dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara Mahkamah Agung menemukan bahwa hakim di Pengadilan Negeri Cibadak, Sukabumi, sering menyinggung tentang kebatalan mutlak dalam pertimbangan hukumnya.

Simak salah satu contoh kasus berikut. Bu Neneng telah membeli sebidang tanah seluas 175 meter persegi dari Pak Pundu, terletak di Cisarua, Nagrak Sukabumi. Pembelian itu didasarkan pada saling percaya dan hanya dibuatkan Surat Perjanjian Jual Beli yang ditandatangani pembeli dan penjual, serta saksi-saksi. Bu Neneng membeli lahan itu atas nama yayasan keagamaan yang diikutinya. Pada saat jual beli Bu Neneng sudah menyerahkan uang sebesar Rp21 juta. Belakangan, ketika tanah itu hendak dialihnamakan, Bu Neneng tidak berhasil menghubungi Pak Pundu lagi. Kantor Pertanahan menyarankan agar Bu Neneng meminta kepastian status hukum perjanjian pembelian tanah tersebut ke pengadilan.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional