Butuh Pengaturan yang Tepat Awasi Industri Fintech
Berita

Butuh Pengaturan yang Tepat Awasi Industri Fintech

Regulator mengaku kesulitan menetapkan aturan main fintech yang dinamis. Tanpa ada pengaturan yang tepat, industri fintech dikhawatirkan berpotensi risiko krisis.

M. Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

Karena itu, Erwin khawatir tanpa ada pengaturan yang tepat, fintech nantinya bisa berperan sebagai shadow banking yang justru memilki potensi risiko krisis lebih tinggi. Hal ini bisa terjadi karena kegiatan usaha shadow banking tidak terpantau regulator. Menurut Erwin, semakin menjamurnya penyelenggara fintech di Indonesia perlu diimbangi dengan pengawasan regulator yang efektif.  

 

“Tren ini jadi perhatian regulator. Apalagi saat ini banyak yang menerbitkan uang-uang digital baru. Apa mereka punya dampak yang besar (bagi stabilitas perekonomian), bisa kita lihat apa yang terjadi di Cina dengan shadow banking,” kata Erwin mencontohkan.  

 

Sulit pungut pajak

Tak hanya itu, sulitnya merumuskan aturan main pada industri fintech juga dirasakan Direktorat Jenderal Perpajakan, Kementerian Keuangan. Staf Ahli Dirjen Pajak, Suryo Utomo menyatakan pihaknya saat ini masih terkendala memungut pajak pada perusahaan fintech di luar negeri, namun perusahaan tersebut bertransaksi di Indonesia.  

 

“Kalau semua pemain (perusahaan fintech) ada di Indonesia lebih mudah dikejar. Kalau pemain di luar negeri akan lebih susah. Sama case-nya dengan e-commerce. Mungkin saja ada pemain yang di luar negeri seperti Singapura dan Malaysia yang tidak tercatat di BI dan OJK,” kata Suryo.

 

Suryo melanjutkan tidak ada perbedaan penerapan pajak antara perusahaan fintech dengan perusahaan konvensional. Menurut Suryo, perbedaan antara perusahaan fintech dengan konvensional hanya terletak hanya pada proses bisnisnya saja. “Tetap ada kewajiban PPh dan PPn. Keberadaan fintech tidak ada perbedaan dengan badan usaha pada umumnya,” tambah Suryo.

 

Seperti diketahui, sebagai regulator fintech saat ini ada dua lembaga yang berwenang mengatur fintech yaitu Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu, ada Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai lembaga yang bertanggung jawab menangani perkembangan industri digital.

 

Hingga saat ini, baru BI yang secara khusus menerbitkan empat peraturan soal penyelenggaraan fintech. Pertama, PBI No 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraaan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Kedua, PBI Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Ketiga, PADG Nomor 19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox) Teknologi Finansial. Keempat, PADG Nomor 19/15/PADG/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran, Penyampaian Informasi dan Pemantauan Penyelenggara Teknologi Finansial.

 

Sementara itu, OJK baru menerbitkan satu peraturan yang berkaitan dengan salah satu produk fintech melalui POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (peer to peer lending).   

Tags:

Berita Terkait