Buruknya Sertifikasi Bayangi RUU Pengadaan Lahan
Utama

Buruknya Sertifikasi Bayangi RUU Pengadaan Lahan

Saat ini, hampir 70 persen pemilik lahan tidak tersertifikasi oleh pemerintah. Padahal sertifikat menjadi penting dalam proses ganti rugi lahan.

M Vareno Tarnes
Bacaan 2 Menit
Hampir 70 persen pemilik lahan tidak tersertifikasi<br>oleh pemerintah. Foto: Dishutbun Pemda DIY.
Hampir 70 persen pemilik lahan tidak tersertifikasi<br>oleh pemerintah. Foto: Dishutbun Pemda DIY.

Sertifikasi lahan masyarakat sejauh ini masih buruk. Di berbagai daerah, masih banyak pemilik lahan yang belum memiliki sertifikat tanah disebabkan rumitnya proses pengurusan. Padahal, pemerintah berencana melakukan pengadaan lahan untuk pembangunan dengan ganti rugi. Pemilik lahan harus memiliki sertifikat agar ganti rugi dapat diterima.

 

Menurut Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Idham Arsyad, sertifikasi lahan yang tidak beres ini bisa jadi ganjalan bagi efektifitas RUU Pengadaan Lahan nantinya. “Ini bisa jadi masalah besar karena sertifikasi merupakan prasyarat RUU itu berlaku efektif nantinya,” katanya kepada hukumonline.

 

Persoalannya, kata Idham, saat ini hampir 70 persen pemilik lahan tidak tersertifikasi oleh pemerintah. Jumlah ini merata di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Artinya, pemerintah memang buruk dalam hal sertifikasi.

 

“Kalau misalnya undang-undang itu mengatakan basis ganti rugi lahan adalah sertifikasi, berarti sebanyak itu pemilik lahan akan kehilangan lahannya. Mereka tidak terlindung secara hukum,” sergahnya.

 

Meski demikian, Idham menegaskan bukan berarti dirinya mendorong pemerintah untuk menyegerakan sertifikasi lahan. Sebab, ada hal utama yang lebih penting diselesaikan sebelum sertifikasi dijalankan. Menurutnya, hal terpenting adalah reforma agraria yang digembar-gemborkan pemerintah harus segera diimplementasikan.

 

“Harus ada terlebih dahulu perimbangan kepemilikan lahan, baru kemudian disertifikasi. Dengan demikian, hak masyarakat atas tanah juga terpenuhi,” tegasnya.

 

Idham juga menyoroti kaitan RUU Pengadaan Lahan ini dengan rencana tata ruang. Katanya, rencana tata ruang di indonesia tidak ada yang bagus. Apalagi partisipasi masyarakat dalam perencanaan tata ruang selama ini sangat minim. “Artinya RUU ini hanya akan bersifat otoriter, hanya untuk menggusur tanah masyarakat,” tudingnya.

 

Pemerintah memang hingga saat ini masih disibukkan dengan masalah harmonisasi aturan tata ruang. Sejauh ini, Pemerintah Daerah yang telah memiliki peraturan mengenai tata ruang bisa dihitung dengan jari. Padahal, UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengharuskan pemerintah provinsi untuk punya peraturan daerah (perda) tata ruang wilayah paling lambat akhir April 2009 dan pemerintah kabupaten/kota setahun berikutnya.

 

Menurut Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Deddy Koespramoedyo, kebanyakan daerah yang bermasalah itu nyangkut pada izin alih fungsi hutan. Sebab, alih fungsi hutan ini harus memperhatikan banyak aturan untuk menentukan kawasan yang akan dijadikan wilayah perumahan, kawasan hutan lindung, dan kawasan industri.

 

Deddy mengakui, aturan beberapa undang-undang tidak sinkron. Karena itu, Deddy berharap koordinasi antar kementerian atau lembaga pemerintah juga lebih baik. “Misalnya sekarang kan ada tim terpadu tata ruang, lintas departemen,” ujarnya beberapa waktu lalu.

 

Menanggapi kendala ganti rugi akibat buruknya sertifikasi, Kepala Bappenas Armida Alisjahbana mengatakan, pemerintah dan DPR berupaya memikirkan langkah terbaik. “Saat ini RUU Pengadaan Lahan Untuk Pembangunan sudah dalam pembahasan Panitia Khusus di DPR,” janjinya.

 

Namun, Idham menegaskan KPA serius dengan penolakan terhadap RUU ini. Ia menandaskan, bagaimanapun aturan pengadaan lahan ini sangat otoriter dan menbuat negara abai dalam melindungi rakyatnya. “Juga tidak akan efektif baik secara sosial maupun yuridis karena landasannya tidak cukup kuat,” katanya.

 

Idham bahkan menjanjikan, RUU ini akan diujikan ke Mahkamah Konstitusi begitu jadi undang-undang. “Kita akan langsung judicial review begitu diundangkan. Sebab, kita yakin aturan ini bertentangan dengan konstitusi,” tegasnya.

 

 

 

Tags: