Hikayat Dua Pohon Mangga dan Pembatas Lahan dalam Relasi Hukum Bertetangga

Hikayat Dua Pohon Mangga dan Pembatas Lahan dalam Relasi Hukum Bertetangga

Dalam relasi sosial, ada prinsip yang disebut alterum non-laedere dan suum cuige tribuere. Apa artinya dalam kehidupan nyata?
Hikayat Dua Pohon Mangga dan Pembatas Lahan dalam Relasi Hukum Bertetangga
Ilustrasi: Shutterstock

Hidup harmonis dengan tetangga adalah impian semua orang dan amanah dari ajaran semua agama dan kepercayaan. Tidak ada satu pun manusia yang sepenuhnya dapat hidup sendiri dan menyendiri, terpisah dari orang lain. Kodratnya, seseorang ingin hidup bersama dengan manusia lain. Mereka berlindung dengan membuat tempat tinggal. Itulah hakikat manusia sebagai makhluk sosial, zoon politicon.

Bertempat tinggal di suatu tempat dengan tetangga bukan berarti tempat tersebut milik seseorang. Di dalam hukum dikenal istilah sewa menyewa. Meskipun berstatus penyewa, seseorang tetap berhubungan dengan pemilik atau penyewa tempat di sebelahnya. Di daerah yang sangat luas, seseorang dapat berjarak jauh dari tetangganya. Sebaliknya, apabila Anda tinggal di perkotaan. Kebutuhan atas tempat tinggal semakin besar, dan itu berarti hubungan bertetangga semakin mendesak. Tanah yang tersedia semakin sempit.

Impian hidup bertetangga secara harmonis belum tentu terwujud sepenuhnya. Selalu ada upaya orang untuk memperluas ruang gerak mereka dengan berbagai cara. Di perkotaan, orang membuat rumah bertingkat, di tempat lain orang berusaha memperlebar pekarangannya. Demi kenyamanan, adakalanya orang menanam tumbuhan atau pohon yang bisa memberikan perlindungan. Cuma, jika pohon yang ditanam tumbuh besar, daun-daunnya jatuh ke halaman tetangga, ini dapat memicu persoalan, sama halnya membangun rumah bertingkat sehingga mengganggu pemandangan tetangga.

Tumbuhnya pohon besar mungkin tidak masalah bagi pemilik, tetapi dapat menganggu tetangga. Bangunan tambahan yang menyebabkan limpahan air hujan ke rumah tetangga mungkin tidak dapat diterima sepenuhnya. Persoalan-persoalan semacam itulah yang mendasari lahirnya norma hidup bertetangga, termasuk yang diatur dalam norma hukum. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, misalnya, lahir untuk mengatur persyaratan pembangunan gedung agar tidak menganggu atau menimbulkan kerugian bagi ‘tetangga’. Itu sebabnya pembangunan gedung, menurut Undang-Undang ini, harus diselenggarakan dengan tertib.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional