Nilai limit lelang menjadi salah satu isu perlelangan yang sering melahirkan gugatan perbuatan melawan hukum. Pemilik aset yang dilelang mengajukan gugatan karena menilai limit yang ditawarkan terlalu rendah atau tidak sesuai nilai jual yang sebenarnya. Dalam gugatan, pada umumnya penggugat meminta pengadilan menyatakan tergugat melakukan perbuatan melawan hukum ketika menetapkan nilai limit lelang. Lantas, apakah penentuan nilai limit yang tidak disetujui pemilik barang yang dilelang merupakan perbuatan melawan hukum?
Persoalan ini juga muncul dalam sosialisasi Rancangan Undang-Undang tentang Perlelangan oleh Kementerian Keuangan. Dalam konsultasi publik RUU tentang Perlelangan di Makassar, Kamis (18/07/2024) lalu, isu ini kembali disinggung publik yang memberikan masukan terhadap RUU. Misalnya disinggung oleh Anwar Borahima. “Perlu ada pengaturan tentang besarnya nilai limit,” papar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin itu.
Akademi FH Unhas lainnya, Prof. Ahmadi Miru, juga menyinggung persoalan nilai limit tersebut. Secara khusus ia menyoroti rumusan Pasal 29 ayat (4) huruf f RUU Perlelangan yang mengatur keabsahan penetapan nilai limit, sementara belum ada ketentuan sebelumnya mengenai kewenangan harga atau nilai limit. Prof. Ahmadi Miru mengusulkan ditambahkan ayat lain yang menentukan penjual dapat mengusulkan syarat-syarat penjualan, termasuk penentuan nilai limit.
Lelang pada dasarnya merupakan instrumen jual beli. Lelang dapat terjadi karena sukarela atau karena diwajibkan oleh undang-undang. Lelang wajib, seperti melelang barang-barang sitaan dari terpidana kasus korupsi, mempunyai fungsi budgeter bagi negara, yakni sebagai sumber pemasukan.
