Surat kuasa adalah bagian penting dan tak terpisahkan dari proses beracara di pengadilan. Sehebat apapun isi gugatan seseorang, atau sedalam apapun pembelaan tergugat, tidak ada artinya kalau pada akhirnya tersandung oleh masalah surat kuasa. Surat kuasa yang diberikan pemberi kuasa untuk beracara ke pengadilan adalah surat kuasa khusus (bijzondere schriftelijke machtiging).
Pengajar Pendidikan Khusus Profesi Advokat yang diselenggarakan Hukumonline, V. Harlen Sinaga menjelaskan frasa khusus mencakup empat peristiwa hukum, yaitu penerima kuasa mewakili pemberi kuasa untuk mengajukan gugatan kepada subjek hukum (tergugat) dan tergugatnya bisa lebih dari satu orang; atas perbuatan cidera janji atau perbuatan melawan hukum; menyebutkan inti atau pokok masalah; dan ke hadapan pengadilan negeri.
Mahkamah Agung berkali-kali memberikan pedoman bagi para pihak berperkara berkaitan dengan surat kuasa. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, setidaknya ada tiga poin surat kuasa yang penting diingat para pihak. Pertama, apabila surat kuasa dengan tegas menyebut untuk digunakan dalam tingkat pertama, banding, dan kasasi, maka tidak diperlukan lagi surat kuasa khusus untuk tingkat banding dan kasasi.
Kedua, di dalam surat kuasa harus disebutkan secara lengkap dan jelas pihak pihak pemberi kuasa, pihak penerima kuasa dan pokok sengketa. Penyebutan ‘dan kawan-kawan’ sebagai pengganti penyebutan para pihak menjadikan surat kuasa itu tidak jelas dan tidak dapat diterima. Ketentuan ini juga berlaku untuk kuasa khusus yang diberikan secara lisan.
