Alasan-Alasan Bagi Hakim untuk Menerapkan Rechterlijke Pardon

Alasan-Alasan Bagi Hakim untuk Menerapkan Rechterlijke Pardon

Ada postulat hukum punier non (simper) necesse est, yang bermakna penghukuman tidak selamanya diperlukan. Ada hal-hal yang perlu dipedomani hakim.
Alasan-Alasan Bagi Hakim untuk Menerapkan Rechterlijke Pardon
Ilustrasi: RES

Masih ingat kasus Nenek Minah, yang diadili karena mencuri tiga buah kakao pada 2009 silam? Perusahaan pemilik kakao melaporkan Minah ke polisi, dan perkaranya sampai ke meja hijau. Kala itu, persidangannya mendapat sorotan publik. Kisahnya menjadi salah satu contoh elegi penegakan hukum di Indonesia. Harga tiga buah kakao tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk menggelar persidangan. Tidak sedikit akademisi dan praktisi hukum mengecam persidangan itu karena dianggap mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.

Mengapa penyidik meneruskan perkara ringan itu ke penuntut umum? Mengapa penuntut umum tidak menuntut bebas? Mengapa hakim tidak menghentikan kasusnya di tengah jalan? Ada nuansa keprihatinan kala itu. Maka, ketika membacakan putusan untuk Minah, suara hakim Pengadilan Negeri Purwokerto Muslich Bambang Luqmono tersendat. Meskipun berat, sudah menjadi tugas hakim seperti dirinya memutus perkara. Ia menjatuhkan hukuman percobaan satu bulan lima belas hari, dan yang penting hukuman itu tidak perlu dijalani.

Pada saat kasus nenek Minah mengemuka, konsep keadilan restoratif belum dikenal seperti sekarang. Perkara ringan sekalipun tetap cenderung dibawa ke meja hijau. Penyidik dan penuntut umum tak ubahnya menggunakan kacamata kuda dalam penegakan hukum. Tidak mengherankan muncul kasus-kasus ringan sejenis di tempat lain, yang menggugah rasa keadilan publik. Kunci terakhir ada di tangan hakim yang memeriksa dan memutus perkara.

Pada hakikatnya, hakim punya amunisi untuk memberikan maaf kepada terdakwa. Konsep permaafan hakim ini dikenal dan diterapkan di banyak negara seperti Belanda, Portugal, Perancis, Uzbekistan, Somalia, dan Denmark. Ada yang menyebutnya judicial pardon, atau ada dispensation of penalty, dan ada juga yang mengaitkannya dengan subsociality. Namanya mungkin berbeda di masing-masing negara, tetapi di Indonesia sebagian kalangan hukum mengenalnya sebagai rechterlijke pardon. (Baca juga: Mengenal Konsep Rechterlijke Pardon dalam RKUHP)

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional