Pihak yang sudah memenangkan perkara hingga tingkat akhir, dalam arti sudah berkekuatan hukum tetap, sungguh tidak menghendaki putusan dinyatakan non-executable. Sebab, dengan penetapan non-executable, pemohon eksekusi tidak mendapatkan apa yang sudah diperjuangkan mungkin selama bertahun-tahun, melalui proses yang sangat panjang, dan dengan biaya yang tidak sedikit. Tetapi adakalanya, Ketua Pengadilan Negeri tidak punya pilihan lain kecuali menyatakan suatu putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap sebagai putusan non-executable.
Beragam cara telah diusulkan agar pihak yang dihukum menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tetapi adakalanya pihak yang memenangkan perkara terpaksa harus mengajukan permohonan eksekusi ke Ketua Pengadilan Negeri. Bahkan ada usulan menggunakan contempt of court untuk mengatasi kesulitan mengeksekusi putusan perdata (Baca juga: Peluang Menggunakan Contempt of Court Atasi Masalah Eksekusi Putusan Perdata).
Putusan non-executable sudah lama dianggap sebagai persoalan serius eksekusi putusan perdata di Indonesia, baik pendapat para ahli maupun riset hukum. M. Yahya Harahap menguraikan sebab-sebab yang membuat suatu putusan dinyatakan non-executable, yaitu: a. harta kekayaan tereksekusi tidak ada; b. putusan bersifat deklaratoir; c. barang objek eksekusi berada di tangan pihak ketiga; d. eksekusi terhadap penyewa; e. barang yang hendak dieksekusi sedang dijaminkan kepada pihak ketiga; f. tanah yang hendak dieksekusi tidak jelas batasnya; g. perubahan status tanah menjadi milik negara; h. barang objek eksekusi berada di luar negeri; i. ada dua atau lebih putusan yang saling bertentangan; atau j. eksekusi terhadap harta kekayaan milik bersama (Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, 2019).
Rupanya, putusan yang bersifat non-executable bukan hanya dikenal dalam hukum harta kekayaan, tetapi juga hukum keluarga atau perkawinan. Persisnya, dalam hal terjadi perebutan hak asuh anak antara suami-isteri ketika ada perceraian. Perundang-undangan dan pandangan umum Mahkamah Agung menetapkan garis yang jelas bahwa kepentingan terbaik si anak tetap menjadi prioritas dalam setiap putusan hakim.