RUU Perampasan Aset ramai diperbincangkan. Ia menjadi ‘jualan’ pasangan capres-cawapres semasa kampanye. Sejumlah politisi dan aparat pemerintah, apalagi ahli hukum, menyuarakan pentingnya RUU ini dalam konteks umum pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di Istora Senayan Jakarta, 12 Desember lalu, Presiden Joko Widodo menegaskan kembali pentingnya RUU tersebut segera disahkan. “Menurut saya, Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana ini penting segera diselesaikan karena ini adalah sebuah mekanisme untuk pengembalian kerugian negara dan bisa memberikan efek jera,” ujar Presiden Jokowi, seraya berharap DPR dan Pemerintah segara duduk bersama untuk membahasnya.
Presiden Jokowi melihat urgensi RUU dari fakta banyaknya penyelenggara negara yang terjerat kasus korupsi. Sepanjang 2004-2022, tidak kurang dari 344 pimpinan dan anggota DPRD/DPR tersandung kasus korupsi. Ada juga menteri, gubernur, 162 bupati/walikota, 31 hakim. Belum termasuk ratusan pengusaha dan birokrat. “Terlalu banyak. Banyak sekali,” tandas Presiden.
Telunjuk publik mengarah ke DPR sebagai pihak yang selama ini menghambat RUU Perampasan Aset. Jika RUU itu disahkan dan aset pelaku tindak pidana korupsi dapat disita aparat penegak hukum lalu pemilik aset diwajibkan melakukan pembalikan beban pembuktian, bukan mustahil anggota DPR ikut menjadi sasaran.