Hiruk pikuk pencalonan Presiden dan Wakil Presiden RI menjelang Pemilu 2024 sudah dimulai. Para Capres dan Cawapres mencoba mengambil hati masyarakat dengan menghadiri berbagai acara di berbagai lokasi di Indonesia. Partai pendukung pun tidak mau kalah, melakukan penggalangan dukungan bagi calon yang diusungnya.
Sejumlah isu sensitif pun mulai bertebaran di media sosial, misalnya mengenai politik dinasti berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia Capres dan Cawapres yang kontroversial. Kemudian isu mengenai kecurangan pada Pemilu lalu yang menariknya isu ini dihembuskan oleh partai politik pemenang pemilu baik legislatif maupun eksekutif.
Kampanye-kampanye yang dilakukan para calon beserta partai pendukungnya memang merupakan hal yang wajar selama tidak melanggar hukum. Dalam masa Pemilu ini kita sering mendengar adanya istilah kampanye negatif dan kampanye hitam atau black campaign yang keduanya memiliki perbedaan dan dampak hukumnya.
Dilansir dari laman Fakultas Hukum Universitas Indonesia (law.ui.ac.id), Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia, Topo Santoso menjelaskan, kampanye negatif dilakukan dengan menunjukkan kelemahan dan kesalahan pihak lawan politik, maka kampanye hitam adalah menuduh pihak lawan dengan tuduhan palsu atau belum terbukti, atau melalui hal-hal yang tidak relevan terkait kapasitasnya sebagai pemimpin. Sebagai contoh, kampanye negatif dalam kontes pemilihan presiden (pilpres) dilakukan dengan mengumbar data hutang luar negeri petahana calon presiden (capres) oleh pihak lawan.