Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) mengatur tentang syarat kepailitan yakni debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
Dari ketentuan ini, dapat dipahami bahwa titik tolak awal dari adanya upaya permohonan pailit sebuah perusahaan adalah utang. UU Kepailitan dan PKPU sendiri menjelaskan bahwa utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing. Utang ini baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhan dari harta kekayaan debitor.
Utang sebagai kewajiban, telah diurai oleh ketentuan Pasal 1234 dan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Menurut kedua norma tersebut, utang diklasifikasikan sebagai perbuatan untuk memberikan sesuatu; untuk berbuat sesuatu; maupun untuk tidak berbuat sesuatu.
Pandangan ini seperti yang disebutkan Kartini Muljadi bahwa istilah utang dalam Pasal 1 UU Kepailitan dan PKPU memiliki kesamaan dengan pengertian kewajiban. Karena itu dapat dipahami bahwa kewajiban yang dimaksud adalah kewajiban karena setiap perikatan, yang menurut Pasal 1233 KUH Perdata dilahirkan baik karena persetujuan maupun karena undang-undang. Dalam hal ini Kartini menghubungkan perikatan yang dimaksud dalam Pasal 1233 itu dengan ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata yang menentukan bahwa tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu, tidak berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.