Bisa dibilang, Hazairin merupakan tokoh yang memperjuangkan persamaan kedudukan waris antara laki-laki dan perempuan melalui pemikirannya soal konsep kewarisan bilateral. Kritiknya bahwa konsep kewarisan Syafi’i yang patrilineal dipandang bukanlah pancaran kehendak Allah SWT dan Al-Qur’an. Terlebih doktrin sunni (Syafi’i) lekat dengan pengaruh kultur masyarakat Arab yang patrilinealistik. Untuk itu, konsep waris bilateral dipandang lebih cocok dengan adat dan kultur masyarakat Indonesia.
Tapi sebetulnya bila diurai, corak budaya masyarakat Indonesia yang beragam mengakibatkan beragam pula budaya kewarisan di tengah-tengah masyarakat. Terlebih Hazairin memang tercatat sebagai ahli hukum adat dengan menyandang gelar Master in de Rechten di tahun 1935 dan meraih gelar doktor dengan disertasi berjudul De Redjang. Pencapaian itulah yang semakin mengukuhkan posisi Hazairin sebagai ahli hukum adat, wajar kiranya pemikirannya soal waris juga erat dengan karakteristik kewarisan adat.
Selain sebagai ahli hukum adat, Hazairin juga dikenal sebagai tokoh yang getol memperjuangkan berlakunya hukum Islam di Indonesia. Dalam pemahaman adatnya, bangsa Indonesia akan bahagia bila hukum yang diterapkan di Indonesia adalah syariat agama, sekurang-kurangnya hukum yang tidak bertentangan dengan syari’at agama. Bauran pemikiran hukum Islamnya yang memperhatikan kondisi adat di tengah masyarakat dipandangnya sebagai sebuah pintu ijtihad yang tidak pernah ditutup dan tidak ada yang berhak untuk menutupnya (D.Darwis: 2017).
Dianggap cocok diterapkan di Indonesia, beberapa ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam pun turut mengadopsi pemikiran Hazairin. Tulisan ini akan coba mengulik seluk beluk pemikiran Hazairin dari sudut konsep kewarisan bilateral, mulai dari aspek pertimbangan hukum adat dan korelasi pemikirannya dengan konsep waris berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.