Dalam sebulan terakhir, ada dua peristiwa penting yang menghubungkan antara pemberantasan korupsi dengan masalah tanah. Pertama, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melimpahkan berkas perkara dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang dalam pendaftaran tanah ke Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya. Dua mantan pejabat Badan Pertanahan Nasional, GTU (mantan Kakanwil BPN Kalimantan Barat) dan SWD (mantan Kabid Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Kanwil BPN Kalimantan Barat), kini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di meja hijau.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Hukumonline, kedua mantan pejabat pertanahan itu akan dijerat Pasal 12B jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP pada dakwaan kesatu-pertama. Pada dakwaan kesatu-kedua, jaksa menggunakan Pasal 11 jo Pasal 18; dan pada dakwaan kedua jaksa menggunakan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Peristiwa kedua adalah penetapan sejumlah tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tanah. KPK telah menetapkan beberapa orang tersangka dalam kasus ini: YRC (Dirut PD Pembangunan Sarana Jaya), AR (Wakil Direktur PT AP), TA (Direktur PT AP), dan RHI (Direktur PT ABAM). Tidak hanya menetapkan orang sebagai tersangka, KPK juga menetapkan tersangka korporasi, yakni PT AP. Penetapan sejumlah tersangka, termasuk korporasi, dalam kasus pengadaan tanah, memperlihatkan adanya korelasi atau irisan antara pengadaan tanah dengan tindak pidana korupsi.
Pertanyaannya: pasal mana dari UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, yang tepat diterapkan dalam kasus-kasus pengadaan tanah, terutama kepada Panitia/Tim Pengadaan Tanah? Apakah tidak lebih pas dipergunakan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum?