Statistik Perbankan Syariah (SPS) yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan beberapa hal. Salah satu di antaranya adalah mengenai non performing financing (NPF) Bank Syariah di Tanah Air. NPF sendiri merupakan gambaran rasio pembiayaan bermasalah terhadap total pembiayaan. Melalui SPS yang diterbitkan oleh OJK, diketahui pada bulan Januari 2021 rasio NPF Bank Syariah sebesar 3,2% dari total pembiayaan. Pada bulan Februari 2021, NPF Bank Syariah berada di angka 3,18%. Kemudian berturut-turut pada Maret dan April NPF Bank Syariah mengalami kenaikan menjadi 3,23% dan 3,29%.
Kenaikan rasio NPF seperti ini tentu saja menarik perhatian OJK sebagai otoritas. Jika jumlahnya terus saja naik, dibutuhkan langkah penanganan terhadap pembiayaan bermasalah tersebut. Langkah akhir dari kegiatan penanganan terhadap pembiayaan bermasalah salah satu satunya dengan jalan restrukturisasi pembiayaan.
Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020 ikut memberikan dampak terhadap naiknya rasio pembiayaan bermasalah pada Bank Syariah. Sementara itu, pembiayaan bermasalah sendiri merupakan pembiayaan yang disebabkan oleh nasabah yang tidak menepati jadwal pada saat pembayaran angsuran serta juga tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan di dalam akad. Sebagaimana disebutkan di atas, salah satu langkah menangani pembiayaan bermasalah adalah dengan jalan restrukturisasi.
OJK sendiri pada akhir Maret 2020 melalui Juru Bicaranya Sekar Putih Djarot mengeluarkan Pengumuman Restrukturisasi/Keringanan Bagi Debitur Perbankan dan Perusahaan Pembiayaan yang Terkena Dampak Covid-19. Lewat pengumuman tersebut diketahui, terdapat 13 Bank Umum Syariah yang telah melakukan resrukturisasi pembiayaan pada nasabah yang terkena dampak Covid-19. Sebagai gambaran, Bank Syariah Mandiri kala itu, hingga 31 Agustus 2020 telah melakukan restrukturisasi pembiayaan pada 29.000 nasabah dari 59.000 potensi nasabah terdampak.