Perundang-undangan Indonesia menggunakan dua nomenklatur berbeda untuk menggambarkan kerugian yang dialami negara akibat perbuatan korupsi tertentu, yaitu ‘kerugian negara’, dan ‘kerugian keuangan negara’. Kedua nomenklatur itu dipergunakan dalam penanganan tindak pidana korupsi, namun pemaknaan atas kedua istilah itu membagi dua kutub pandangan terutama jika menyangkut kerugian Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD).
Istilah ‘kerugian keuangan negara’ dipergunakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Ada beberapa bagian dari Undang-Undang ini yang menyebutkan nomenklatur ‘kerugian keuangan negara’ atau ‘merugikan keuangan negara’.
Dalam penanganan tindak pidana korupsi, unsur merugikan keuangan negara ini sangat penting. Dalam putusan Mahkamah Agung No. 2027 K/Pid/2005, misalnya, hakim menegaskan adanya kerugian negara akibat perbuatan para terdakwa. Meskipun ada Surat dari Menteri Tenaga Kerja dan Irjen Kementerian Tenaga Kerja yang menyebut tidak ada kerugian negara, hakim Mahkamah Agung menyatakan surat itu bukan alasan pembenar dan menghilangkan sifat melawan hukum. Faktanya, perbuatan para terdakwa merugikan keuangan negara. Perbuatan para terdakwa memenuhi unsur Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor).
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor mengancam sanksi pidana bagi ‘setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’. Demikian pula dalam Pasal 3, termuat ancaman sanksi pidana bagi ‘setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’.