Dalam lima tahun terakhir, nyaris tidak ada pembentukan Undang-Undang yang lebih kontroversial dan mendapat respons beragam dari masyarakat selain pembentukan Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi UU No. 19 Tahun 2019. Kontroversi kedua Undang-Undang ini dilihat dari demonstrasi yang luas, perdebatan akademik, dan diskursus di ruang publik. Malahan demo penolakan diwarnai kematian demonstran.
Kontroversi sudah mencuat jauh sebelum proses pengesahan. Toh, pembentuk Undang-Undang (DPR, Pemerintah, dan dalam bidang tertentu melibatkan DPD) bergeming. Praktik yang sangat memalukan adalah pengesahan UU No. 11 Tahun 2020. Setelah Undang-Undang disahkan ternyata masih ada kesalahan sistem rujukan dan persoalan disparitas pemidanaan. Menteri Sekretaris Negara Praktikno mengatakan kesalahan itu hanya kesalahan administratif dan tidak mempengaruhi berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar menyebut proses pembentukan (law making process) UU Cipta Kerja ugal-ugalan. Penggunaan metode omnibus law dalam proses penyusunan RUU Cipta Kerja tak dikenal dalam payung hukum pembentukan, yakni UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (sebagaimana diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019). Selain itu, substansinya pun dianggap sejumlah kalangan bermasalah. Namun, kontroversi itu tak menghambat keberlakuannya. Sejak 2 November 2020, UU Cipta Kerja resmi berlaku, karena pada tanggal tersebut Presiden Joko Widodo membubuhkan tanda tangan.
Tetapi ditandatangani atau tidaknya Undang-Undang sebenarnya tak berpengaruh pada keberlakuan. UU No. 12 Tahun 2011 sudah mengatur bahwa selama 30 hari sejak disepakati DPR dan pemerintah sah menjadi Undang-Undang Di sini, ukurannya adalah pengundangan. Pengundangan menentukan daya laku suatu peraturan perundang-undangan. Lantas apakah yang dimaksud dengan daya laku tersebut? Apakah setiap Undang-Undang yang berlaku praktis mengikat warga negara?