KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Dapatkah Tindak Pidana Pengeroyokan Tanpa Saksi Diproses Hukum?

Share
Pidana

Dapatkah Tindak Pidana Pengeroyokan Tanpa Saksi Diproses Hukum?

Dapatkah Tindak Pidana Pengeroyokan Tanpa Saksi Diproses Hukum?
Rifdah Rudi, S.H.Si Pokrol

Bacaan 10 Menit

Article Klinik

PERTANYAAN

Akhir-akhir ini sedang viral, kasus seorang influencer dan temannya yang dikeroyok oleh pelaku secara bersamaan di daerah Bandung. Saat pelaku dilaporkan ke kantor polisi, pelaku merasa tidak mengenali korban dan mengaku memukuli dalam keadaan mabuk. Lantas, apakah suatu pengeroyokan tanpa saksi dapat diproses secara hukum? Hanya berlandaskan surat keterangan visum.

Daftar Isi

    INTISARI JAWABAN

    Dalam suatu tindak pidana, pada dasarnya korban juga dikategorikan sebagai saksi. Namun keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Sehingga diperlukan adanya suatu alat bukti yang sah lainnya. Sebab untuk menentukan apakah terdakwa terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana, hakim memperoleh keyakinan berdasarkan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    KLINIK TERKAIT

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Pembuktian Tindak Pidana dengan Pengeroyokan Tanpa Saksi yang dibuat oleh oleh Marc Anthonio, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada tanggal 10 Agustus 2020.

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

     

    Untuk menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa permasalahan yang terjadi merupakan ruang lingkup hukum pidana. Selanjutnya, kami akan merujuk pada ketentuan dalam KUHAP, KUHP lama maupun UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026, dan Perkapolri 6/2019.

     

    Tindak Pidana Penganiayaan dan Pengeroyokan

    Dari pertanyaan Anda, menurut hemat kami, peristiwa yang terjadi diduga merupakan peristiwa tindak pidana penganiayaan atau tindak pidana pengeroyokan.

    Adapun tindak pidana penganiayaan telah diatur dalam Pasal 351 KUHP atau Pasal 466 UU 1/2023 dan tindak pidana pengeroyokan yang diatur dalam Pasal 170 KUHP atau Pasal 262 UU 1/2023 bukanlah merupakan delik aduan sebagaimana tidak adanya ketentuan spesifik yang menyatakan sebagai berikut. Selanjutnya berikut bunyi pasal terkait:

    KUHP

    UU 1/2023

    Pasal 351

    1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.
    2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
    3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
    4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
    5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

     

     

    Pasal 466

    1.  
    2. Setiap orang yang melakukan penganiayaan, dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta.[2]
    3. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
    4. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
    5. Termasuk dalam penganiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan yang merusak kesehatan.

     

     

    Pasal 170

    1. Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
    2. Yang bersalah diancam:
      1.  
      2. dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka;
      3. dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat;
      4. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.
      5. Pasal 89 KUHP tidak diterapkan.

     

     

     

    Pasal 262

    1.  
    2. Setiap orang yang dengan terang-terangan atau di muka umum dan dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp 500 juta.[3]
    3. Jika kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan hancurnya barang atau mengakibatkan luka, dipidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.[4]
      1. Jika kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
      2. Jika kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
      3. Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf d.

     

     

    Penjelasan selengkapnya mengenai delik aduan dapat disimak dalam artikel Apakah Delik Aduan Bisa Dicabut Kembali?

    Perlu diketahui bahwa terkait penganiayaan yang termuat pada Pasal 351 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 245), mengatakan bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan “penganiayaan” itu. Adapun menurut yurisprudensi, penganiayaan diartikan sebagai tindakan sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Menurut alinea empat pasal ini, termasuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah sengaja merusak kesehatan orang.

    Adapun pada penjelasan Pasal 466 UU 1/2023 ditegaskan bahwa ketentuan dalam pasal tersebut sama halnya tidak memberi perumusan mengenai pengertian penganiayaan. Hal ini diserahkan kepada penilaian hakim untuk memberikan interpretasi terhadap kasus yang dihadapi sesuai dengan perkembangan nilai-nilai sosial dan budaya serta perkembangan dunia kedokteran.

    Baca juga: Ini Bunyi Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan

    Selanjutnya terkait Pasal 170 KUHP, masih dalam bukunya yang sama, R. Soesilo menegaskan bahwa siapa saja dapat menjadi subjek pelaku tindak pidana.[5] Adapun kekerasan yang dilakukan terhadap orang atau barang adalah  kekerasan yang dilakukan biasanya terdiri atas merusak barang atau penganiayaan, akan tetapi dapat pula kurang dari itu, sudah cukup misalnya bila orang-orang melemparkan batu pada orang lain atau rumah, atau membuang-buang barang-barang dagangan sehingga berserakan, meskipun tidak ada maksud untuk menyakiti orang atau merusak barang itu.[6]

    Baca juga: Bunyi Pasal 170 KUHP tentang Pengeroyokan

    Dengan demikian, tanpa adanya aduan dari korban pun, para pelaku tetap dapat diproses secara hukum menurut ketentuan dalam KUHAP. Jika ada dugaan peristiwa tindak pidana, maka korban dapat melaporkan para pelaku ke kepolisian agar dapat diproses secara hukum.

      

    Jenis Alat Bukti dalam Kasus Pidana

    Alat bukti yang sah dalam perkara pidana terdiri dari:[7]

    1. keterangan saksi;
    2. keterangan ahli;
    3. surat;
    4. petunjuk;
    5. keterangan terdakwa.

    Untuk menentukan apakah terdakwa terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana, kesalahannya harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah dan atas adanya 2 alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya, atau yang dikenal dengan sistem pembuktian negatif (negatief wettelijk bewijstheorie).

    Dalam pertanyaan, Anda menyatakan bahwa tidak ada saksi yang melihat tindakan pengeroyokan yang diduga dilakukan oleh para pelaku, tetapi sudah dilakukan visum kepada korban.

    Adapun yang dimaksud sebagai saksi menurut Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 (hal. 92), adalah termasuk korban selaku orang yang mengalami suatu peristiwa pidana dapat pula dikategorikan sebagai saksi. Lalu, apakah seorang saksi (hanya korban) cukup untuk membuktikan suatu dugaan tindak pidana?

    Berdasarkan Pasal 185 ayat (2) KUHAP diketahui bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Namun perlu diketahui bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.[8]

    Berdasarkan pertanyaan yang Anda ajukan, korban telah melakukan visum, artinya terdapat alat bukti lain berupa surat, yaitu visum et repertum yang dapat memperkuat keterangan saksi korban. Dengan demikian, alat bukti yang dibutuhkan sudah cukup untuk dijadikan dasar bagi pihak kepolisian dan aparat penegak hukum yang lain untuk melakukan proses hukum lebih lanjut.

    Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan Anda, peristiwa tindak pidana penganiayaan atau pengeroyokan yang terjadi dapat diproses secara hukum berdasarkan alat bukti keterangan saksi korban, alat bukti surat berupa visum et repertum, petunjuk, maupun keterangan terdakwa.

    Baca juga: Syarat dan Prosedur Melakukan Visum sebagai Alat Bukti

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    DASAR HUKUM

    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
    Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana

     

    PUTUSAN

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010.


    [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)

    [2] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023

    [3] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023

    [4] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023

    [5] Mahrus Ali. Dasar-dasar Hukum Pidana, Cet. 2. Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hal. 111

    [6] R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991, hal. 146

    [7] Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHAP”)

    [8] Pasal 185 ayat (3) KUHAP

    TAGS

    Punya masalah hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Powered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Semua

    TIPS HUKUM

    Lihat Semua
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda