Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Anak Tiri Berhak Dapat Warisan? yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada 27 November 2013.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Kelompok Ahli Waris Menurut Hukum Islam
Untuk menjawab pertanyaan Anda mengenai harta waris anak tiri berdasarkan hukum Islam, kami akan mendasarkan pada ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam atau KHI.
Pertama-tama, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan pewaris dan ahli waris. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris, dan harta peninggalan.[1]
Adapun, ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.[2]
Dalam KHI, ahli waris terdiri atas dua kelompok, yaitu:[3]
- Ahli waris menurut hubungan darah
- Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
- Ahli waris menurut hubungan perkawinan, terdiri atas duda atau janda.
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapatkan warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda.[4]
Namun, apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali atau ahli waris tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaanya kepada Baitul Mal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum.[5]
Kedudukan Anak Tiri dalam Hukum Waris Islam
Berdasarkan penjelasan kami sebelumnya mengenai pengelompokan ahli waris menurut hukum Islam, maka anak tiri tidak termasuk sebagai ahli waris karena tidak ada hubungan darah dengan pewaris. Sehingga anak tiri tidak berhak mendapatkan harta warisan pewaris.
Dengan demikian, yang bisa menjadi ahli waris dan berhak mewarisi warisan dari pewaris adalah istri dan anak kandung pewaris. Bagian anak pewaris diatur di dalam Pasal 176 KHI yang berbunyi:
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.
Sementara, istri dari pewaris mendapatkan 1/8 bagian warisan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 180 KHI sebagai berikut:
Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian.
Baca juga: Cara Hitung Pembagian Harta Warisan Anak Menurut Hukum Islam
Meski demikian, anak tiri yang dibawa oleh istri pewaris tetap bisa mendapatkan warisan sepanjang pewaris semasa hidupnya memberikan wasiat kepada anak tirinya. Wasiat ini disebut dengan wasiat wajibah.
Lampiran SEMA 7/2012 (hal. 9) menyatakan bahwa anak tiri yang dipelihara sejak kecil bukan sebagai ahli waris, tetapi dapat diberi bagian dari harta warisan berdasarkan wasiat wajibah.
Ketentuan mengenai wasiat wajibah termaktub di dalam Pasal 195 ayat (1) dan (2) KHI yaitu wasiat dilakukan secara lisan atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan notaris, dengan ketentuan sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
Oleh karena itu, dapat kami sampaikan bahwa anak tiri atau anak bawaan istri pewaris bukanlah ahli waris yang bisa mendapatkan harta warisan karena tidak ada hubungan darah dengan pewaris. Hanya saja, anak tiri dapat memperoleh harta pewaris melalui wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 bagian dari harta warisan dan boleh lebih apabila para ahli waris menyetujuinya.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam;
- Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.
[2] Pasal 171 huruf c KHI
[3] Pasal 174 ayat (1) KHI
[4] Pasal 174 ayat (2) KHI