Rekan saya adalah karyawan di sebuah perusahaan dan bertugas mengambil uang dari klien. Suatu ketika dia tanda tangan di kuitansi dan menuliskan kalimat “kurang bayar Rp20 juta”. Padahal, sesuai surat pernyataan yang dibuat oleh klien, utangnya masih Rp60 juta. Dalam hal ini rekan saya tidak mengambil keuntungan apapun. Pertanyaan saya:
Apakah dengan tulisan di kuitansi tersebut utang klien perusahaan rekan saya demi hukum berubah menjadi Rp20 juta atau tetap Rp60 juta?
Apakah fungsi kuitansi sama seperti kontrak/perjanjian padahal tidak ada kata sepakat dalam kuitansi?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Kuitansi merupakan bukti penerimaan uang dan dapat menjadi bukti adanya perjanjian atau kontrak. Apabila terdapat penyangkalan terhadap kebenaran isi kuitansi, maka bagaimana kedudukan kuitansi tersebut?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Apakah Kuitansi Bisa Berfungsi Sebagai Perjanjian? yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H dan dipublikasikan pertama kali pada Senin, 21 Juni 2011.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Syarat Sah Perjanjian
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Untuk menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kami sampaikan syarat keabsahan perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
Sepakat Para Pihak
Suatu perjanjian harus dilandasi dengan kata sepakat. Di dalam KUH Perdata, tidak memberikan definisi apakah yang dimaksud dengan sepakat itu. Tapi pada prinsipnya, kesepakatan itu dibentuk karena kecocokan atau kesesuaian kehendak para pihak, antara penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance).[1]
Adanya kesesuaian antara penawaran dan penerimaan maka disitulah momentum lahirnya kesepakatan. Kata sepakat dapat diberikan secara tegas maupun dengan diam-diam. Secara tegas dapat dilakukan dengan lisan, tertulis (dalam akta di bawah tangan atau akta autentik), ataupun dengan diam-diam dengan suatu tanda tertentu.
Kesepakatan diam-diam (silent agreement) adalah kesepakatan yang disimpulkan dari sikap, tindakan atau fakta bahwa pihak tersebut memilih melaksanakan prestasi tanpa menyatakan persetujuan secara tegas atau memilih berdiam diri ketika ia memiliki kesempatan untuk menolak.
Kecakapan
Jika subjek hukumnya adalah orang, maka standar kecakapan ini dilihat dari usia kedewasaan, sebagaimana sudah diatur Pasal 1329, 1330, 1331 KUH Perdata. Di dalam KUH Perdata ditentukan bahwa orang membuat perjanjian itu harus cakap. Apabila menggunakan standar usia kecakapan merujuk pada Pasal 47 jo. 50 UU Perkawinan yaitu usia 18 tahun.
Jika pihaknya merupakan badan hukum, maka standar kecapakan ini harus dinilai dari sisi kewenangan (bevoegheid). Bahwa organ yang mewakili badan hukum itu adalah organ yang memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum itu.
Jadi standar kecakapan manusia yaitu usia, tidak di bawah pengampuan, atau kepailitan sedangkan badan hukum dinilai dari aspek kewenangan bahwa organ yang mewakili badan hukum tersebut adalah organ yang berwenang.
Sifat dan Luasnya Objek Perjanjian dapat Ditentukan
Seperti yang diuraikan pada Pasal 1332, 1333, 1334 KUH Perdata, suatu perjanjian harus dikarenakan sebab tertentu, harus dapat dijelaskan, dirincikan, atau diuraikan objek macam dan jenisnya. Pada prinsipnya, objeknya harus jelas dan dapat ditentukan.
Kausa yang Halal/Kausa yang Diperbolehkan
Perjanjian itu tidak boleh karena sebab yang palsu. Hal ini diatur dalam Pasal 1335 KUH Perdata. Selain itu, juga dilarang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, ataupun ketertiban umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata.
Sehubungan dengan keempat syarat sah suatu perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka terdapat konsekuensi apabila masing-masing syarat tidak terpenuhi. Pertama, syarat kesepakatan dan kecakapan, merupakan unsur subjektif karena berkenaan dengan diri atau subjek yang membuat kontrak. Kedua, syarat objek tertentu dan kausa yang diperbolehkan merupakan unsur objektif.
Selanjutnya, apabila perjanjian tersebut merupakan perjanjian konsensual maka dengan kesepakatan para pihak maka telah lahir perjanjian itu. Dengan lahirnya perjanjian maka menimbulkan perikatan bagi para pihak.[2]
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa perjanjian atau kontrak itu mengikat bagi mereka atau pihak-pihak yang membuatnya sebagaimana layaknya undang-undang (pacta sun servanda), harus dipenuhi yang membawa konsekuensi hukum wanprestasi bila tidak dilaksanakan.
Dapatkah Kuitansi Berfungsi Sebagai Perjanjian?
Sebelumnya, Anda tidak menegaskan perjanjian apa yang Anda maksud, apakah perjanjian jual beli, sewa menyewa, atau utang piutang. Sehingga kami asumsikan bahwa perjanjian yang Anda maksud sifatnya konsensual, dimana perjanjian ini dianggap lahir berdasarkan kesepatakan para pihak. Prinsip ini dipahami bahwa perjanjian dianggap telah terjadi dan karenanya mengikat sejak tercapainya kata sepakat.[3]
Menurut KBBIkuitansi adalah surat bukti penerimaan uang. Sehingga dari segi alat bukti, kuitansi menjadi alat bukti tulisan mengenai penerimaan uang. Selain itu, kuitansi juga dapat dijadikan sebagai bukti suatu perjanjian.
Kuitansi sebagai bukti perjanjian dapat dilihat dalam Putusan PT Samarinda 18/Pdt/2016/PT.Smr dan Putusan MA 2070 K/Pdt/2016. Demikian juga dalam Putusan MA 2949 K/Pdt/2016 yang mengakui kuitansi sebagai bukti perjanjian jual beli hak atas tanah. Dengan demikian, kuitansi bukan berfungsi sebagai perjanjian, melainkan dapat menjadi bukti adanya suatu perjanjian.
Akan tetapi, karena kuitansi tidak menguraikan secara rinci suatu perjanjian, maka perlu didukung dengan alat bukti lain yang membuktikan bahwa perjanjian tersebut adalah dasar penerimaan uang yang diuraikan dalam kuitansi.
Adapun alat bukti lain yang dapat digunakan adalah alat bukti tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah.[4] Selain itu, dapat pula berbentuk alat bukti elektronik berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya.[5]
Terhadap tulisan kuitansi yang menguraikan sisa utang adalah sejumlah Rp20 juta padahal seharusnya Rp60 juta, maka Anda dapat merujuk Putusan MA 167 K/Sip/1959 yang kaidah hukumnya menyatakan:
Surat bukti pinjam uang yang diuraikan dalam kuitansi yang diakui tanda tangannya tetapi disangkal jumlah uang yang dipinjamnya dapat dianggap sebagai permulaan pembuktian tertulis.
Sehingga berdasarkan putusan ini, apabila terdapat kuitansi penerimaan uang yang juga menyebutkan sisa utang tetapi rekan Anda menyangkalnya, maka mengenai kebenaran sisa utang tersebut harus didukung dengan bukti lain. Misalnya bukti transaksi pengiriman uang/transfer bank, atau bukti saksi yang mengetahui dan membenarkan sisa utang sebesar Rp60 juta bukan Rp20 juta atau sebaliknya.
Sebagai tambahan, rekan Anda dalam melaksanakan tugas ke depan harus lebih berhati-hati dan cermat dalam menuliskan dan menandatangani bukti penerimaan uang, mengingat kuitansi merupakan alat bukti yang menunjukan adanya penerimaan uang dan membuktikan adanya perjanjian.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
DASAR HUKUM
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Herzien Inlandsch Reglement
Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
PUTUSAN
Putusan Mahkamah Agung Republik Nomor 167 K/Sip/1959
Agus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial. Cet. 2. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011;
Yohanes Sogar Simamora. Hukum Perjanjian: Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah. Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010.
[1] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. 2, 2011, hal. 162-163.
[3] Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian: Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010, Cet. 2, hal. 191.