KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Jika Dijebak oleh Polisi dan Disiksa dalam Tahanan

Share
Pidana

Jika Dijebak oleh Polisi dan Disiksa dalam Tahanan

Jika Dijebak oleh Polisi dan Disiksa dalam Tahanan
Muhammad Raihan Nugraha, S.H.Si Pokrol

Bacaan 10 Menit

Jika Dijebak oleh Polisi dan Disiksa dalam Tahanan

PERTANYAAN

Teman saya dijebak oleh temannya untuk mengantarkan paket berisi narkoba (tanpa sepengetahuan teman saya) dan mengakibatkan teman saya tersebut ditahan di sel tahanan (rutan). Saat ditahan, teman saya disiksa/dianiaya oleh polisi dan saat saya mau menjenguk teman saya, harus membayar Rp500 ribu setiap kali jenguk.

Kemudian, di rumah tahanan ini teman saya harus membayar 1 juta untuk biaya kamar tahanan. Seakan-akan, teman saya juga dijebak oleh polisi karena harus bayar biaya jenguk dan kamar. Pertanyaan saya:

  1. Apakah benar diperbolehkan polisi minta suap di kantor polisi? Apakah kamar tahanan wajib dibayar?
  2. Apa hukumnya jika petugas rutan siksa tahanan?
  3. Apakah teman saya tetap harus ditahan walaupun polisi mengetahui bahwa ia dijebak?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Terkait dengan adanya pungutan liar (“pungli”) dalam rutan, teman Anda berhak menyampaikan keluhan tentang perlakuan petugas yang melakukan pungli ini kepada Kepala Rutan/Cabang Rutan tersebut baik secara lisan maupun tulisan.

    Kemudian, terkait dengan penyiksaan/penganiayaan dalam rutan, pada dasarnya, penyidik/polisi tidak boleh melakukan pemaksaan, tekanan, atau bahkan penyiksaan pada tahanan.

    Jika polisi atau penjaga rutan siksa tahanan, dan menyebabkan korban luka berat dan mati, maka pelaku dapat dijerat Pasal 351 KUHP lama dan Pasal 466 UU 1/2023. Namun, jika tindak pidana merupakan penganiayaan ringan, maka pelaku dapat dijerat Pasal 352 KUHP atau Pasal 471 UU 1/2023.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 04 Januari 2012, lalu dimutakhirkan pertama kali oleh Sovia Hasanah, S.H. pada 5 September 2018.

    Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Pertama-tama, berkaitan dengan kasus yang teman Anda alami, jika teman Anda merasa narkotika yang dibawa bukan miliknya, atau tidak mengetahui bahwa paket yang ia bawa berisi narkoba, maka yang dapat teman Anda lakukan adalah membuktikannya di persidangan dan menyakinkan hakim bahwa narkotika tersebut bukan miliknya. Selanjutnya, Hakim yang akan memutuskan apakah teman Anda dapat dijatuhkan pidana atau tidak. Dasar hukum dan penjelasan selengkapnya dapat Anda baca dalam Kedapatan Membawa Narkotika Tanpa Disadari, Bisakah Dipidana?

    Kemudian, untuk mempersingkat jawaban, dalam ulasan ini kami akan fokus membahas hak tersangka untuk menerima kunjungan, pungutan liar dalam rumah tahanan, dan hak tersangka untuk tidak disiksa/dianiaya.

    Hak Tersangka untuk Menerima Kunjungan

    Apa yang dimaksud dengan rumah tahanan negara (“rutan”)? Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Permenkumham 8/2024, rutan adalah lembaga atau tempat yang menjalankan fungsi pelayanan terhadap tahanan.

    Sedangkan tahanan adalah tersangka atau terdakwa yang sedang menjalani proses peradilan dan ditahan di rutan.[1]

    Kemudian, jika melihat ketentuan dalam Pasal 60 jo. Pasal 61 KUHAP , tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum, bahkan untuk kepentingan yang tidak ada hubungannya dengan perkara, misalnya untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan.

    Adapun berdasarkan Pasal 37 ayat (1) PP 58/1999, setiap tahanan berhak menerima kunjungan dari:

    1. keluarga dan atau sahabat;
    2. dokter pribadi;
    3. rohaniwan;
    4. penasihat hukum;
    5. guru; dan
    6. pengurus dan anggota organisasi sosial kemasyarakatan.

    Kunjungan tersebut harus dicatat dalam daftar kunjungan dan setiap pengunjung harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang menahan.[2]

    Bila teman Anda tidak diberikan haknya untuk menerima kunjungan dari keluarganya ataupun sahabatnya, hal ini merupakan pelanggaran hukum, dan terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak kepolisian ini, teman Anda dapat menyampaikan keluhan pada Komisi Kepolisian Nasional.[3]

    Pungutan Liar dalam Tahanan

    Mengutip Penjelasan Umum PP 58/1999, dikatakan bahwa:

    Penahanan atas diri pelaku tindak pidana pada dasarnya merupakan suatu perampasan hak untuk hidup secara bebas yang dimiliki oleh seseorang. Setiap penahanan dilaksanakan berdasarkan asas praduga tak bersalah, yang secara tegas dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Penempatan tahanan di Rutan/Cabang Rutan atau Lapas/Cabang Lapas di tempat tertentu merupakan rangkaian proses pemidanaan yang diawali dengan proses penyidikan, seterusnya dilanjutkan dengan proses penuntutan dan pemeriksaan perkara di Sidang Pengadilan serta pelaksanaan putusan pengadilan di Lembaga Pemasyarakatan.

    Oleh karena itu, tidak seharusnya tahanan dikenakan biaya atas penahanannya di kamar tahanan.

    Terkait dengan adanya pungutan liar (“pungli”) ini, teman Anda berhak menyampaikan keluhan tentang perlakuan petugas yang melakukan pungli ini kepada Kepala Rutan/Cabang Rutan tersebut baik secara lisan maupun tulisan.[4]

    Hak Tersangka Untuk Tidak Disiksa/Dianiaya

    Berdasarkan KUHAP dan PP 58/1999, hak-hak tahanan antara lain adalah:

    1. menghubungi dan didampingi penasihat hukum;[5]
    2. segera diperiksa oleh penyidik setelah 1 hari ditahan;[6]
    3. menghubungi dan menerima kunjungan pihak keluarga atau orang lain untuk kepentingan penangguhan penahanan atau usaha mendapat bantuan hukum;[7]
    4. meminta atau mengajukan penangguhan penahanan;[8]
    5. menghubungi atau menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan;[9]
    6. menghubungi atau menerima kunjungan sanak keluarga;[10]
    7. mengirim surat atau menerima surat dari penasehat hukum dan sanak keluarga;[11]
    8. menghubungi dan menerima kunjungan rohaniwan;[12]
    9. bebas dari rasa takut, paksaan dan tekanan.[13]

    Selengkapnya, Anda dapat baca artikel Hak-hak Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana.

    Ditegaskan pula dalam Pasal 52 jo. Pasal 117 ayat (1) KUHAP bahwa keterangan tersangka harus diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun agar mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya. Dalam arti lain, wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka dalam pemeriksaan. Sehingga, dari ketentuan-ketentuan di atas, jelas bahwa setiap tersangka yang diperiksa polisi tidak boleh disiksa secara fisik maupun psikis, seperti diintimidasi atau ditakut-takuti.

    Selain itu, mengenai pemeriksaan tersangka maupun saksi di Kepolisian juga diatur dalam Perpolri 7/2022  dan Perkapolri 8/2009.

    Setiap Anggota Polri pada dasarnya dalam etika kelembagaan, dilarang untuk melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau standar operasional prosedur, meliputi:[14]

    1. penegakan hukum;
    2. pengadaan barang dan jasa;
    3. penerimaan anggota polri dan seleksi pendidikan pengembangan;
    4. penerbitan dokumen dan/atau produk kepolisian terkait pelayanan masyarakat; dan
    5. penyalahgunaan barang milik negara atau barang yang dikuasai secara tidak sah;

     Adapun yang dimaksud dengan larangan dalam penegakan hukum, dapat berupa:[15]

    1. mengabaikan kepentingan pelapor, terlapor, atau pihak lain yang terkait dalam perkara yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    2. menempatkan tersangka di tempat bukan rumah tahanan negara/Polri dan tidak memberitahukan kepada keluarga atau kuasa hukum tersangka;
    3. merekayasa dan memanipulasi perkara yang menjadi tanggung jawabnya dalam rangka penegakan hukum;
    4. mengeluarkan tahanan tanpa perintah tertulis dari penyidik, atasan penyidik atau penuntut umum, atau hakim yang berwenang;
    5. melakukan pemeriksaan terhadap seseorang dengan cara memaksa, intimidasi, dan atau kekerasan untuk mendapatkan pengakuan;
    6. melakukan penyidikan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karena adanya campur tangan pihak lain;
    7. menghambat kepentingan pelapor, terlapor, dan pihak terkait lainnya yang sedang berperkara untuk memperoleh haknya dan/atau melaksanakan kewajibannya;
    8. mengurangi, menambahkan, merusak, menghilangkan dan/atau merekayasa barang bukti;
    9. menghambat dan menunda waktu penyerahan barang bukti yang disita kepada pihak yang berhak/berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    10. menghambat dan menunda waktu penyerahan tersangka dan barang bukti kepada jaksa penuntut umum;
    11. melakukan penghentian atau membuka kembali penyidikan tindak pidana yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    12. melakukan hubungan atau pertemuan secara langsung atau tidak langsung di luar kepentingan dinas dengan pihak-pihak terkait dengan perkara yang sedang ditangani dengan landasan itikad buruk;
    13. melakukan pemeriksaan di luar kantor penyidik kecuali ditentukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
    14. melakukan keberpihakan dalam menangani perkara

    Kemudian, pada Pasal 11 ayat (1) Perkapolri 8/2009 telah ditegaskan bahwa setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan:

    1. penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum;
    2. penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
    3. pelecehan atau kekerasan seksual terhadap tahanan atau orang-orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
    4. penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia;
    5. korupsi dan menerima suap;
    6. menghalangi proses peradilan dan/atau menutup-nutupi kejahatan;
    7. penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum (corporal punishment);
    8. perlakuan tidak manusiawi terhadap seseorang yang melaporkan kasus pelanggaran HAM oleh orang lain;
    9. melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan yang tidak berdasarkan hukum;
    10. menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan.

    Jadi pada dasarnya, dalam pemeriksaan tersangka, penyidik/polisi tidak boleh melakukan pemaksaan, tekanan, atau bahkan penyiksaan pada tersangka.

    Jika polisi atau penjaga rutan siksa tahanan, dan menyebabkan korban luka berat dan mati, maka pelaku dapat dijerat Pasal 351 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 466 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[16] yaitu tahun 2026. Namun, jika tindak pidana merupakan penganiayaan ringan, maka pelaku dapat dijerat Pasal 352 KUHP atau Pasal 471 UU 1/2023.

    Dengan demikian, apabila teman Anda telah mengalami penganiayaan oleh petugas rutan, kami menyarankan agar teman Anda segera membuat pengaduan kepada pejabat rutan yang berwenang dalam melakukan pengawasan. Selain itu, Anda juga dapat segera melaporkan ke Kepolisian terkait adanya dugaan tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh seorang oknum petugas rutan. Mengenai cara melapor tindak pidana ke polisi dapat Anda baca di Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya.

    Sebagai informasi, mengenai penyiksaan ini, Indonesia telah meratifikasi Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia) melalui UU 5/1998 yang pada intinya, Konvensi mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat publik (public official) dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya.

    Terkait dengan pemeriksaan yang sarat tekanan dan paksaan ini, Mahkamah Agung (“MA”) pernah memutus bahwa keterangan yang diperoleh dengan paksaan dan tekanan ini menjadi tidak bernilai dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti di Pengadilan yakni dalam Putusan MA 2588 K/Pid.Sus/2010. Dalam putusan tersebut, pada Berita Acara Pemeriksaan (Tersangka) telah terjadi penganiayaan dan ancaman dengan pistol oleh penyidik (hal. 7-8).

    Selain itu, MA juga pernah mengeluarkan Putusan MA 1531 K/Pid.Sus/2010, di mana keterangan saksi yang diperoleh di bawah tekanan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti di Pengadilan. Pada putusan ini, terdakwa dipaksa mengaku oleh polisi dengan cara dipukuli (hal. 15-16).

    Untuk membuktikan bahwa teman Anda tidak bersalah, proses hukum tetap harus dilalui sesuai peraturan perundang-undangan. Jadi, memang teman Anda tidak bisa serta merta dibebaskan sebelum yang bersangkutan terbukti tidak bersalah di pengadilan.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
    3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia);
    4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    5. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan
    6. Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional
    7. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 8 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Keamanan dan Ketertiban Pada Satuan Kerja Pemasyarakatan
    8. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;
    9. Peraturan Kepolisian Negara Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

    Referensi:

    Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment.

    Putusan:

    1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1531 K/Pid.Sus/2010;
    2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 2588 K/Pid.Sus/2010.

    [1] Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 8 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Keamanan dan Ketertiban Pada Satuan Kerja Pemasyarakatan

    [2] Pasal 37 ayat (2) dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan (“PP 58/1999”)

    [3] Lihat Pasal 7 huruf c Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional

    [4] Pasal 34 PP 58/1999

    [5] Pasal 114 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)

    [6] Pasal 122 KUHAP

    [7] Pasal 60 jo. Pasal 61 KUHAP jis. Pasal 37 PP 58/1999

    [8] Pasal 31 KUHAP

    [9] Pasal 37 ayat (1) huruf b PP 58/1999

    [10] Pasal 37 ayat (1) huruf a PP 58/1999

    [11] Pasal 62 ayat (1) KUHAP

    [12] Pasal 37 ayat (1) huruf c PP 58/1999

    [13] Penjelasan Pasal 52 KUHAP

    [14] Pasal 10 ayat (1) huruf a Peraturan Kepolisian Negara Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perpolri 7/2022”)

    [15] Pasal 10 ayat (2) Perpolri 7/2022

    [16] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 

     

    Tags

    tahanan
    kepolisian

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Powered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Ingin Rujuk, Begini Cara Cabut Gugatan Cerai di Pengadilan

    1 Sep 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    dot
    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda di sini!