KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hukum KDRT Suami Pukuli Istri Berkali-kali

Share
Keluarga

Hukum KDRT Suami Pukuli Istri Berkali-kali

Hukum KDRT Suami Pukuli Istri Berkali-kali
Muhammad Raihan Nugraha, S.H.Si Pokrol

Bacaan 10 Menit

Article Klinik

PERTANYAAN

Belakangan ini video KDRT tersebar di medsos. Menurut berita yang beredar, video tersebut menampilkan seorang istri yang merupakan mantan atlet anggar yang alami KDRT oleh suaminya. Dalam video KDRT tersebut, korban dipukuli suami berkali-kali. Lalu, video KDRT juga menampilkan mantan atlet anggar diteriaki dan dicaci-maki suami, sehingga ada dugaan kekerasan verbal dan psikis.

Pertanyaan saya, bisakah pasangan abusive dilaporkan atas dasar KDRT? Atas KDRT yang menimpa eks atlet anggar tersebut, apa langkah hukum yang bisa dilakukan korban?

Daftar Isi

    INTISARI JAWABAN

    Abusive relationship dapat diartikan sebagai hubungan yang di dalamnya disertai dengan tindakan kekerasan yang sengaja dilakukan dan ditujukan kepada pasangan. Tindakan abusive dapat pula mengarah pada perlakuan pasangan yang sifatnya kasar, keji, menghina, atau melecehkan.

    Jika merujuk pada jenis-jenis kekerasan dalam rumah tangga (“KDRT”) dalam UU PKDRT, maka pasangan abusive dapat dilaporkan berdasarkan KDRT. Lantas, bagaimana bunyi ketentuannya? Apa langkah hukum yang bisa dilakukan korban KDRT?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul Bisakah Pasangan Abusive Dilaporkan atas Dasar KDRT? yang dibuat oleh Shanti Rachmadsyah, S.H., dan pertama kali dipublikasikan pada 3 Juni 2010, kemudian dimutakhirkan oleh Nafiatul Munawaroh, S.H., M.H pada 17 November 2023.

    KLINIK TERKAIT

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Pengertian dan Jenis-jenis KDRT

    Sebelumnya, kami bersimpati atas kejadian yang dialami korban. Untuk menjawab pertanyaan Anda, perlu kami sampaikan terlebih dahulu mengenai apa itu kekerasan dalam rumah tangga (“KDRT”) dan apa saja bentuk kekerasan KDRT.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Menurut UU PKDRT, KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[1]

    Perlu kami tekankan bahwa, UU PKDRT berlaku bagi setiap orang, tanpa membedakan jenis kelamin. Jadi, UU KDRT ini tidak hanya berlaku bagi seorang istri saja, namun juga berlaku untuk suami. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 huruf b UU KDRT, yaitu penghapusan kekerasan dalam rumah tangga menganut asas keadilan dan kesetaraan gender. Adapun yang dimaksud dengan kesetaraan gender adalah suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi keutuhan dan kelangsungan rumah tangga secara proporsional.[2]

    Lebih lanjut, jenis-jenis KDRT dalam dikelompokkan ke dalam 5 bentuk, yaitu:[3]

    1. Kekerasan fisik, dalam bentuk pemukulan, penganiayaan, pengurungan, pemberian beban kerja yang berlebihan, dan pemberian ancaman kekerasan;
    2. Kekerasan verbal, dalam bentuk caci maki, meludahi, dan bentuk penghinaan lain secara verbal.
    3. Kekerasan psikologis atau emosional, yang meliputi pembatasan hak-hak individu dan berbagai macam bentuk tindakan teror;
    4. Kekerasan ekonomi, melalui tindakan pembatasan penggunaan keuangan yang berlebihan dan pemaksaan kehendak untuk kepentingan-kepentingan ekonomi, seperti memaksa untuk bekerja.
    5. Kekerasan seksual, dalam bentuk pelecehan seksual yang paling ringan hingga perkosaan.

    Jerat Hukum Pelaku KDRT

    Berdasarkan Pasal 5 UU PKDRT, bentuk-bentuk KDRT meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Berikut adalah masing-masing penjelasannya.

    1. Kekerasan Fisik

    Yang dimaksud dengan kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.[4]

    Pelaku kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp15 juta. Jika kekerasan mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat, dipidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp30 juta.[5]

    Adapun, jika korban meninggal dunia, pelaku dipidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp45 juta. Dalam hal kekerasan fisik dilakukan suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit/halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan/mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari dipidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp5 juta.[6]

    1. Kekerasan Psikis

    Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.[7]

    Pelaku kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dipidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp9 juta. Dalam hal kekerasan psikis dilakukan suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan/mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari dipidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp3 juta.[8]

    1. Kekerasan Seksual

    Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut ataupun pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.[9]

    Kekerasan seksual merupakan tindak pidana yang pelakunya diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp36 juta.[10] Adapun orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya untuk melakukan hubungan seksual dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit Rp12 juta atau denda paling banyak Rp300 juta.[11]

    Apabila kekerasan seksual tersebut mengakibatkan korban luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya 4 minggu terus menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp25 juta dan paling banyak Rp500 juta.[12]

    1. Penelantaran Rumah Tangga

    Dalam Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT, penelantaran rumah tangga berupa menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan/perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan terhadap orang tersebut.

    Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 9 ayat (2) UU PKDRT bahwa penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Ancaman pidana terhadap tindakan penelantaran rumah tangga adalah pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.[13]

    Berkaitan dengan kasus KDRT yang Anda sampaikan, menurut hemat kami, suami yang memukuli istri berkali-kali telah melakukan kekerasan fisik dan berpotensi dipidana berdasarkan Pasal 5 huruf  a jo. Pasal 44 UU PKDRT.

    Baca juga: 4 Bentuk KDRT, Ancaman Pidana, dan Cara Melaporkannya

    Selain diatur dalam UU PKDRT, pelaku kekerasan dalam rumah tangga juga dapat dijerat pasal penganiayaan dalam KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[14] sebagai berikut:

    Pasal 351 KUHPPasal 466 UU 1/2023
    1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[15]
    2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
    3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
    4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
    5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
    1. Setiap orang yang melakukan penganiayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu sebesar Rp50 juta.[16]
    2. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
    3. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
    4. Termasuk dalam penganiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan yang merusak kesehatan.
    5. Percobaan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dipidana.

    Penjelasan selengkapnya mengenai pasal penganiayaan dapat Anda baca dalam artikel Ini Bunyi Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan.

    Lebih lanjut, menurut informasi yang Anda berikan, KDRT dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Maka, jika pelaku terbukti melanggar Pasal 351 KUHP, pidananya dapat ditambah 1/3.[17]

    Baca juga: KDRT Hingga Meninggal, Penganiayaan atau Pembunuhan?

    Lantas, pasal mana yang dipakai untuk menjerat pelaku KDRT?

    Terhadap keberadaan Pasal 351 KUHP, Pasal 466 UU 1/2023, dan Pasal 44 UU PKDRT dapat diterapkan doktrin lex specialis derogat legi generali, yang artinya hukum khusus menyampingkan hukum umum.[18] Dalam kasus hukum pidana, terdapat tindak pidana umum yang diatur dalam KUHP, dan tindak pidana khusus yang pengaturan hukumnya berada di luar KUHP. Menyambung kasus yang Anda tanyakan, tindak pidana khusus contohnya KDRT diatur dalam UU PKDRT.

    Pada kasus ini, Pasal 5 huruf  a jo. Pasal 44 UU PKDRT memiliki karakteristik unsur yang lebih spesifik dibandingkan Pasal 351 KUHP dan Pasal 466 UU 1/2023. Walau demikian, dalam praktiknya penyidik dapat mengenakan pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur penganiayaan sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU 1/2023 serta UU PKDRT. Artinya, jika unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penyidik dapat menggunakan pasal-pasal tersebut.

    Bisakah Pasangan Abusive Dilaporkan Berdasarkan KDRT?

    Kemudian, menjawab pertanyaan Anda mengenai bisakah pasangan abusive dilaporkan berdasarkan KDRT, terlebih dahulu kami asumsikan bahwa yang Anda maksud dengan pasangan abusive merujuk pada perlakuan pasangan yang sifatnya kasar, keji, menghina, atau melecehkan. Merujuk Oxford Dictionaryabusive diartikan sebagai “that employs or contains bad language; insulting, scurrilous.”

    Abusive relationship juga dapat diartikan sebagai hubungan yang di dalamnya disertai dengan tindakan kekerasan yang sengaja dilakukan dan ditujukan kepada pasangan. Selain itu, abusive juga merupakan suatu pola kekerasan yang ada dalam suatu hubungan yang membentuk kuasa dan kendali terhadap pasangannya. Perlakuan yang dilakukan oleh pelaku biasanya berupa ancaman, intimidasi secara emosional ke pasangannya, yang akan meningkat atau semakin parah dari waktu ke waktu.[19]

    Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, dapat kami sampaikan bahwa segala bentuk abuse atau kekerasan dalam lingkup rumah tangga, baik kekerasan psikis, fisik, penelantaran, maupun kekerasan seksual merupakan bentuk KDRT.

    Dalam hal ini apakah kekerasan verbal termasuk KDRT? Jika kekerasan verbal tersebut memenuhi kriteria kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang, maka pasangan abusive yang melakukan kekerasan verbal tergolong sebagai KDRT.

    Langkah Hukum yang Dapat Dilakukan Korban KDRT

    Korban yang mempunyai pasangan abusive dan melakukan jenis-jenis KDRT di atas dapat melaporkan KDRT kepada polisi. Selengkapnya dapat Anda baca dalam Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya.

    Selain dapat melaporkan ke polisi, korban KDRT dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan KDRT kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.[20]

    Selanjutnya, berdasarkan artikel Menemukenali Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dari laman Komnas Perempuan, korban KDRT juga dapat melakukan pengaduan kepada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (“P2TP2A”) yang terdapat di berbagai provinsi.

    Selain itu, Kemen PPPA juga memiliki hotline layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129, sehingga masyarakat yang melihat, mendengar dan mengetahui adanya tindak kekerasan di sekeliling mereka bisa melapor ke kontak layanan tersebut.

    Kemudian, bagi setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya KDRT wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan kemampuannya untuk:[21]

    1. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
    2. memberikan perlindungan kepada korban;
    3. memberikan pertolongan darurat; dan
    4. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

    Sebagai informasi, korban KDRT menurut Pasal 10 UU PKDRT berhak mendapatkan:

    1. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
    2. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
    3. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
    4. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
    5. pelayanan bimbingan rohani.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    DASAR HUKUM

    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP

    REFERENSI

    1. Icha Fitrian Nisa, (et.al). Sebuah Proses Abusive Relationship dalam Hubungan Pacaran. Mediapsi, Vol. 9, No. 1, 2023;
    2. Mohammad ‘Azzam Manan, MA. Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Sosiologis. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 5, No. 3, 2008;
    3. Shinta Agustina. Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Masalah-Masalah Hukum FH Universitas Diponegoro, Vol. 44, No. 4, 2015;
    4. Abusive, diakses pada 15 Agustus 2024, pukul 16.45 WIB;
    5. Menemukenali Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), diakses pada 14 Agustus 2024, pukul 17.45 WIB.

    [1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”)

    [2] Penjelasan Pasal 3 huruf b UU PKDRT

    [3] Mohammad ‘Azzam Manan, MA. Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Sosiologis. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 5, No. 3, 2008, hal. 15 – 16

    [4] Pasal 6 UU PKDRT

    [5] Pasal 44 ayat (1) dan (2) UU PKDRT

    [6] Pasal 44 ayat (3) dan (4) UU PKDRT

    [7] Pasal 7 UU PKDRT

    [8] Pasal 45 UU PKDRT

    [9] Pasal 8 UU PKDRT

    [10] Pasal 46 UU PKDRT

    [11] Pasal 47 UU PKDRT

    [12] Pasal 48 UU PKDRT

    [13] Pasal 49 UU PKDRT

    [14] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)

    [15] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, denda dikali 1000

    [16] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023

    [17] Pasal 356 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    [18] Shinta Agustina. Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Masalah-Masalah Hukum FH Universitas Diponegoro, Vol. 44, No. 4, 2015, hal. 504

    [19] Icha Fitrian Nisa, (et.al)Sebuah Proses Abusive Relationship dalam Hubungan Pacaran. Mediapsi, Vol. 9, No. 1, 2023, hal. 30

    [20] Pasal 26 UU PKDRT

    [21] Pasal 15 UU PKDRT

    TAGS

    Punya masalah hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Powered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Semua

    TIPS HUKUM

    Lihat Semua
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda