Saya bekerja di perusahaan swasta, anak perusahaan dari BUMN ternama. Baru-baru ini, perusahaan mewajibkan seluruh karyawan untuk mengikuti vaksinasi. Ada beberapa karyawan yang menolak, lalu ada peringatan bahwa yang menolak vaksinasi akan di PHK. Apabila saya tetap menolak vaksinasi dan akhirnya dipecat, apakah saya tetap mendapatkan hak-hak saya seperti pesangon, uang penghargaan, pengganti cuti, dan lain-lain? Sebagai informasi tambahan, menolak vaksinasi bukanlah pelanggaran perjanjian kerja dan tidak tercantum dalam PKB dan peraturan perusahaan.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Terdapat beberapa alasan terjadinya pemutusan hubungan kerja (“PHK”) yang mungkin dijadikan alasan untuk mem-PHK karyawan yang menolak vaksinasi COVID-19, yaitu :
Pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanian kerja, peraturan perusahaan (“PP”) atau perjanjian kerja bersama (“PKB”);
Pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 bulan akibat ditahan pihak berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;
Alasan PHK lainnya sebagaimana diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB.
Jika unsur-unsur dalam alasan tersebut tidak terpenuhi, maka PHK yang dilakukan dengan alasan karyawan menolak vaksinasi COVID-19 tidak didasarkan atas alasan yang sah, sehingga dapat menyebabkan terjadinya perselisihan PHK.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Menolak Vaksinasi COVID-19 sebagai Alasan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”)
Pada dasarnya, pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (“PHK”).[1] Dalam hal ini, PHK tidak dapat dilakukan sembarangan. PHK dapat dilakukan atas dasar alasan-alasan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan.
Dalam ketentuan tersebut, menurut hemat kami alasan terjadinya PHK yang mungkin dijadikan alasan untuk mem-PHK karyawan yang menolak vaksinasi COVID-19, yaitu:
Pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan (“PP”), atau perjanjian kerja bersama (“PKB”) dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk maksimal 6 bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB;[2]
Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;[3]
Alasan PHK lainnya sebagaimana diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB.[4]
Dalam pertanyaan, Anda menerangkan bahwa ketentuan mengenai vaksinasi COVID-19 tidak diatur di dalam perjanjian kerja, PP, dan/atau PKB, sehingga perusahaan tidak dapat melakukan PHKberdasarkan alasanyang tercantumdalam poin a dan c di atas.
Tapi, lain halnya jika pekerja tersebut tidak dapat melakukan pekerjaanselama6 bulanakibat ditahan pihak yang berwajib karenadiduga melakukan tindak pidana akibat menolak vaksinasi COVID-19, sebagaimana dimaksud dalam poin b.
Dalam artikel Tolak Vaksinasi COVID-19 Dipidana? Begini Perspektif HAM, Alghiffari Aqsa, S.H. menjelaskan bahwa pemerintah menyatakan vaksinasi COVID-19 merupakan sebuah kewajiban dan terdapat sanksi bagi orang yang menolak divaksin, karena dapat dianggap tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (“UU 6/2018”) dengan ancaman pidana penjara maksimal 1 tahun dan/atau denda maksimal Rp100 juta.
Sehingga, jika pekerja yang bersangkutan kemudian didugamelanggar ketentuan dalam pasal tersebut yang mengakibatkan dirinya ditahan pihak berwajib selama 6 bulan dan tidak dapat melakukan pekerjaannya, ia dapat di-PHK dan oleh karenanya berhak atas penghargaan masa kerja sebesar 1 kali dan uang penggantian hak (“UPH”).[5] Apabila pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum berakhirnya masa 6 bulan dan pekerja dinyatakan bersalah maka pengusaha dapat melakukan PHK dan pekerja/buruh berhak atas hak yang sama.[6]
Jadi, menjawab pertanyaan Anda, jika unsur-unsur dalam alasan dapat dilakukannya PHK sebagaimana diuraikan di atas tidak terpenuhi, maka PHK yang dilakukan dengan alasan menolak vaksinasi COVID-19 dalam kasus ini tidak didasarkan atas alasan yang sah, sehingga dapat menyebabkan terjadinya perselisihan PHK.
Perselisihan PHK
Perselisihan PHK adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak.[7] Perselisihan PHK merupakan salah satu jenis perselisihan hubungan industrial.[8]
Pekerja yang tidak terima atas PHK tersebut dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Melakukan perundingan bipartit dengan pengusaha atau gabungan pengusaha secara musyawarah untuk mencapai mufakat bersama[9] dan harus diselesaikan maksimal 30 hari sejak tanggal dimulainya perundingan.[10]
Jika tidak berhasil, salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.[11]
Setelah itu, penyelesaian PHK diselesaikan melalui konsiliasi.[12]
Jika tidak tercapai kesepakatan dalam konsiliasi, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.[13]
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihatPernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja