Perusahaan akan menerapkan sanksi hukuman SP (Surat Peringatan) dan memberikan penilaian performa akhir tahun buruk apabila karyawan terkena COVID-19. Tidak ada aturan dalam perjanjian kerja bersama mengenai COVID-19 ini. Yang jadi pertanyaan saya adalah:
Apakah perusahaan berhak mengaturnya?
Adakah landasan hukum bagi perusahaan untuk melakukan penerapan sanksi ini?
Adakah landasan hukum bagi pekerja untuk melawan keputusan perusahaan?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Pemberian Surat Peringatan (“SP”) kepada karyawan sebenarnya telah diatur ketentuannya dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perlu dipahami, SP ini diberikan jika karyawan melanggar ketentuan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Namun demikian, terhadap pekerja yang sakit terinfeksi COVID-19 tidak dapat serta-merta diatur pemberian SP. Kecuali misalnya, dalam peraturan perusahaan sebelumnya telah diatur karyawan dilarang masuk ke kantor atau penetapan Work from Home (WFH),namun si karyawan melanggar kebijakan ini dan akhirnya menurut tracing, ia terpapar COVID-19 dari bepergian ke atau dari kantor.
Oleh karena itu, si karyawan bisa diberikan SP atas alasan pelanggaran ketentuan peraturan perusahaan tersebut, bukan karena alasan ia sakit terpapar COVID-19.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:
pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Dari ketentuan di atas, SP terhadap pekerja dapat diberikan oleh perusahaan hanya ketika terjadi pelanggaran ketentuan yang merujuk pada perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Dalam kasus Anda, kami berpendapat perusahaan tidak dapat serta-merta mengatur dan menganggap bahwa apabila karyawan terinfeksi COVID-19 merupakan pelanggaran kerja.
Namun demikian, menurut hemat kami, perusahaan tetap tidak boleh sewenang-wenang terhadap karyawan yang terpapar COVID-19, menerbitkan SP dan penilaian peforma buruk kepadanya. Kecuali, kami mencontohkan, secara internal perusahaan telah menetapkan kepada pekerja untuk tidak masuk kantor atau menetapkan kebijakan melalui peraturan perusahaan yaitu Work from Home (“WFH”) atau wajib memberitahukan kepada perusahaan terlebih dahulu apabila pekerja diharuskan bepergian ke kantor.
Akan tetapi, si pekerja yang bersangkutan justru mengabaikan kebijakan tersebut hingga hasil tracing mengindikasikan bahwa pekerja terpapar COVID-19 karena diduga bepergian ke atau dari kantor. Hal demikian dapat dianggap bahwa pekerja melakukan pelanggaran peraturan perusahaan yakni dalam hal ini tetap masuk ke kantor atau tidak membeitahukan kepada perusahaan jika akan pergi ke kantor, sehingga pekerja itu bisa diberikan SP.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pekerja mendapat SP bukan karena ia sakit terpapar COVID-19, melainkan melanggar kebijakan WFH atau tidak melapor kepada perusahaan jika akan pergi ke kantor.
Hukumnya Jika Pekerja Sakit
Jika karyawan sakit terinfeksi COVID-19, justru pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja (“PHK”) kepada pekerja dengan alasan berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus.[1]
Bahkan, pengusaha wajib membayar upah jika pekerja sakit menurut keterangan dokter sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.[2] Maka jika dikaitkan dengan pekerja yang terinfeksi COVID-19 apabila ia harus menjalani isolasi mandiri, beristirahat, dan tidak dapat bekerja karena harus memulihkan dirinya, pengusaha tetap harus membayar upahnya.
Tapi perlu diperhatikan, upah yang dibayarkan kepada pekerja yang sakit adalah sebagai berikut:[3]
untuk 4 bulan pertama, dibayar 100% dari upah;
untuk 4 bulan kedua, dibayar 75% dari upah;
untuk 4 bulan ketiga, dibayar 50% dari upah; dan
untuk bulan selanjutnya dibayar 25% dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
pelaksanaan kegiatan pada sektor non esensial diberlakukan 100% WFH;
kritikal seperti:
kesehatan;
keamanan dan ketertiban;
penanganan bencana;
energi;
logistik, transportasi dan distribusi terutama untuk kebutuhan pokok masyarakat;
makanan dan minuman serta penunjangnya, termasuk untuk ternak/hewan peliharaan;
pupuk dan petrokimia;
semen dan bahan bangunan;
obyek vital nasional;
proyek strategis nasional;
konstruksi (infrastruktur publik);
utilitas dasar (listrik, air dan pengelolaan sampah), dapat beroperasi dengan ketentuan:
untuk huruf a dan huruf b dapat beroperasi 100% staf tanpa ada pengecualian; dan
untuk huruf c sampai dengan huruf l dapat beroperasi 100% maksimal staf, hanya pada fasilitas produksi/konstruksi/pelayanan kepada masyarakat dan untuk pelayanan administrasi perkantoran guna mendukung operasional, diberlakukan maksimal 25% staf Work from Office (“WFO”).
esensial pada sektor pemerintahan yang memberikan pelayanan publik yang tidak bisa ditunda pelaksanaannya diberlakukan 25% maksimal staf WFO dengan protokol kesehatan secara ketat.
pelaksanaan kegiatan pada sektor non esensial diberlakukan 100% WFH.
Jadi singkatnya, terhadap kebijakan perusahaan terkait penetapan WFH juga harus merujuk pada ketentuan PPKM di atas apabila berada di wilayah Jawa dan Bali.