Karena situasi saat ini tidak memungkinkan untuk berobat ke rumah sakit, saya berkonsultasi online dengan dokter melalui layanan aplikasi kesehatan. Jadi dokter hanya mendengarkan keluhan saya tanpa memeriksa langsung, lalu memberikan resep obat. Anehnya, saya tidak sembuh-sembuh dan ternyata dokter salah diagnosis. Kalau terjadi kasus dokter salah diagnosis, siapa yang harus bertanggung jawab? Dokter atau layanan aplikasi kesehatan? Atau kedua-duanya? Terima kasih.
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Dalam melakukan penegakan diagnosis, dokter melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta untuk beberapa penyakit membutuhkan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan di laboratorium.
Pelayanan konsultasi dengan dokter jarak jauh melalui teknologi informasi dan komunikasi disebut telemedicine. Lantas apabila dokter salah diagnosis melaluilayanan konsultasi daring, siapa pihak yang bertanggung jawab?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Salah Diagnosis via Platform Kesehatan, Tanggung Jawab Siapa? yang dibuat oleh Erizka Permatasari, S.H.dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 26 Oktober 2020.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami tegaskan bahwa kasus dokter salah diagnosis yang Anda alami terjadi dalam lingkup telemedicine.
Dalam melakukan diagnosis, dokter melakukan anamnesis yaitu mendengarkan keluhan pasien atau keluarga pasien dan pemeriksaan fisik, serta untuk beberapa penyakit membutuhkan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan di laboratorium.[1]
Terkait hal tersebut, saat proses pemeriksaan dilakukan secara daring, dokter tidak dapat melakukan pemeriksaan fisik secara langsung.
Seputar Telemedicine
Layanan pemeriksaan daring dikenal dengan sebutan telemedicine. Adapun definisi telemedicine adalah pemberian pelayanan kedokteran jarak jauh oleh dokter dan dokter gigi dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, meliputi pertukaran informasi diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit dan cedera, penelitian dan evaluasi, dan pendidikan berkelanjutan penyedia layanan kesehatan untuk kepentingan peningkatan kesehatan individu dan masyarakat.[2]
Dalam melakukan telemedicine, dokter dan dokter gigi dilarang untuk melakukan hal-hal berikut.[3]
Melakukan telekonsultasi antara tenaga medis dengan pasien secara langsung tanpa melalui fasilitas pelayanan kesehatan (“fasyankes”).
Memberikan penjelasan yang tidak jujur, tidak etis, dan tidak memadai (inadequate information) kepada pasien atau keluarganya.
Melakukan diagnosis dan tatalaksana di luar kompetensinya.
Meminta pemeriksaan penunjang yang tidak relevan.
Melakukan tindakan tercela, tindakan intimidasi atau tindakan kekerasan terhadap pasien dalam penyelenggaraan praktik kedokteran.
Melakukan tindakan invasif melalui telekonsultasi.
Menarik biaya di luar tarif yang sudah ditetapkan oleh fasyankes.
Memberikan surat keterangan sehat.
Sebagai informasi tambahan, di sisi lain, ketentuan telemedicine juga diatur dalam Permenkes 20/2019.
Penegakan Diagnosis Dokter melalui Platform Kesehatan Digital
Sejalan dengan artikel Aturan tentang Konsultasi Dokter Jarak Jauh (Telemedicine), kami mengasumsikan platform digital layanan konsultasi daring dengan dokter yang Anda maksud bukanlah penyelenggara pelayanan kesehatan. Adapun aplikasi pelayanan telemedicine yang dikembangkan mandiri harus teregistrasi di Kementerian Kesehatan.[4]
Menurut Dr. dr. Prijo Sidipratomo, Sp.Rad(K)., selaku Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Dokter Indonesia, tidak semua penyakit dapat didiagnosis hanya dengan melakukan anamnesis, sehingga proses penegakan diagnosis dokter melalui platform kesehatan digital bisa dikatakan belum sempurna.
Perlu dicatat, konsultasi daring dengan dokter melalui platform kesehatan digital seharusnya hanya dapat dilakukan untuk tindakan preventif (pencegahan), bukan kuratif (mengobati).
Beliau kemudian menjelaskan bahwa beberapa penyakit dapat dilakukan penegakan diagnosis tanpa pemeriksaan fisik, salah satunya yaitu penyakit demam.
Sebagai contoh, jika pengguna mengalami demam, dokter dapat meminta pengguna untuk mengukur suhu tubuhnya secara mandiri. Kemudian, hasilnya ditunjukkan kepada dokter via pesan gambar atau panggilan video.
Nantinya, dokter akan memberikan rekomendasi obat penurun demam. Apabila demam berlanjut, dokter akan merekomendasikan pengguna untuk menemui dokter secara langsung ke fasyankes terdekat.
Selain itu, penyakit kulit seperti panu dan kudis juga dapat dilakukan penegakan diagnosis tanpa harus melakukan pemeriksaan fisik secara langsung.
Dokter dapat meminta pengguna memotret bagian kulit yang gatal dan menanyakan ciri-ciri keluhan yang dialami. Hal ini dikarenakan penyakit-penyakit seperti di atas adalah penyakit yang bersifat umum.
Sedangkan penyakit yang tidak dapat diperiksa melalui platform kesehatan digital, misalnya penyakit dalam seperti penyakit jantung yang butuh pemeriksaan fisik lebih lanjut.
Kasus Dokter Salah Diagnosis dalam Platform Kesehatan Digital
Untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab masing-masing pihak dalam platform kesehatan digital, Anda dapat membaca syarat dan ketentuan dari platform kesehatan digital yang digunakan.
Sebagai contoh, misalnya pada Halodoc, dalam Pasal 1 poin m Syarat dan Ketentuan Pengguna Halodoc menegaskan Halodoc bukan merupakan penyelenggara pelayanan kesehatan dan tidak menyediakan layanan kesehatan.
Masih dari sumber yang sama, Halodoc menyatakan tidak bertanggung jawab atas setiap tindakan, kecerobohan, kelalaian, dan/atau kelengahan penyedia layanan, sehingga platform Halodoc hanya merupakan sarana teknologi layanan informasi dan komunikasi daring antara pengguna dan penyedia layanan.
Dengan kata lain, pengguna perlu membaca dan memahami syarat dan ketentuan platform kesehatan digital sebelum memanfaatkan fitur di dalamnya.
Dian Mauli dalam jurnal Tanggung Jawab Hukum Dokter terhadap Kesalahan Diagnosis Penyakit Kepada Pasien menjelaskan, jika diduga ada kesalahan diagnosis dokter, perlu diperhatikan apakah dokter itu telah bekerja sesuai aturan atau tidak (hal. 47).
Jika dokter bertindak tidak sesuai dengan standar disiplin kedokteran, yang mengakibatkan terjadinya kesalahan diagnosis, maka ia dapat dinyatakan telah melanggar disiplin kedokteran.
Bersumber dari jurnal yang sama, tenaga kesehatan hanya bertanggung jawab atas upaya yang dilakukan (Inspaning Verbinntenis) dan tidak menjamin hasil akhir (Resultalte Verbinntenis) (hal. 47).
Terkait hal ini, Prijo Sidipratomo juga menerangkan bahwa standar disiplin kedokteran mengacu pada standar yang disusun oleh Konsil Kedokteran Indonesia sebagai lembaga resmi yang ditunjuk oleh UU 29/2004.
Jadi, yang dibuktikan adalah kesesuaian tindakan dokter, bukan hasil yang didapatkan akibat tindakan yang diupayakan dokter.
Langkah Hukum Jika Dokter Salah Diagnosis
Atas kasus dokter salah diagnosis yang dialami, ada beberapa langkah hukum yang dapat diambil. Misalnya jika menimbulkan kerugian, dapat diajukan gugatan perbuatan melawan hukum.
Namun, kami sarankan Anda terlebih dahulu dapat mengadukan ini ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur Pasal 66 UU 29/2004 yang menerangkan bahwa setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
Di sisi lain, dokter juga bisa dikenai pidana menurut Pasal 79 huruf c UU 29/2004jo.Putusan MK Nomor 4/PUU-V/2007 dengan pidana denda paling banyak Rp50 juta, apabila dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban untuk memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
Demikian jawaban dari kami terkait kasus dokter salah diagnosis sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.
Kami telah melakukan wawancara dengan Dr. dr. Prijo Sidipratomo, Sp.Rad (K)., selaku Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Dokter Indonesia, via telepon pada 1 April 2020.