Peraturan perumahan pada dasarnya tidak dikenal dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia. Tanpa wewenang untuk membentuknya, peraturan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selain itu, peraturan perumahan juga tidak boleh memiliki sanksi pidana.
Lalu, di wilayah mana ketentuan syariah dapat diterapkan di Indonesia?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Di dalam undang-undang tersebut, yang dimaksud dengan perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.[1]
Sepanjang penelusuran kami, label ‘syariah’ sehubungan dengan perumahan adalah berikaitan dengan sistem pembiayaan perumahan, sebagaimana ketentuan Pasal 121 UU 1/2011 yang berbunyi:
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah harus melakukan upaya pengembangan sistem pembiayaan untuk penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.
Pengembangan sistem pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
lembaga pembiayaan;
pengerahan dan pemupukan dana;
pemanfaatan sumber biaya; dan
kemudahan atau bantuan pembiayaan.
Sistem pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip konvensional atau prinsip syariah melalui:
Dalam peraturan tersebut, yang dimaksud dengan prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.[2]
Prinsip syariah merupakan salah satu acuan dalam Kredit/Pembiayaan Pemilikan Rumah Bersubsidi (“KPR Bersubsidi”). KPR Bersubsidi adalah kredit/pembiayaan pemilikan rumah yang mendapat bantuan dan/atau kemudahan perolehan rumah dari pemerintah berupa dana murah jangka panjang dan subsidi perolehan rumah yang diterbitkan oleh bank pelaksana baik secara konvensional maupun dengan prinsip syariah.[3]
KPR bersubsidi, salah satunya, berbentuk Kredit Pemilikan Rumah Sejahtera (“KPR Sejahtera”).[4] KPR Sejahtera terdiri dari:[5]
KPR Sejahtera Tapak;
KPR Sejahtera Syariah Tapak;
KPR Sejahtera Susun; dan
KPR Sejahtera Syariah Susun.
Kelompok sasaran KPR Bersubsidi merupakan masyarakat berpenghasilan rendah dengan batasan penghasilan tertentu.[6]
Hak dan Kewajiban dalam Penyelenggaraan Perumahan
Lebih lanjut, UU 1/2011 mengatur bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal atau menghuni rumah. Hak untuk menghuni rumah dapat berupa hak milik atau sewa atau bukan dengan cara sewa.[7]
Selain itu, dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, setiap orang berhak:[8]
menempati, menikmati, dan/atau memiliki/memperoleh rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur;
melakukan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman;
memperoleh informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;
memperoleh manfaat dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;
memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; dan
mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan terhadap penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang merugikan masyarakat.
Di sisi lain, dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, setiap orang wajib:[9]
menjaga keamanan, ketertiban, kebersihan, dan kesehatan di perumahan dan kawasan permukiman;
turut mencegah terjadinya penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang merugikan dan membahayakan kepentingan orang lain dan/atau kepentingan umum;
menjaga dan memelihara prasarana lingkungan, sarana lingkungan, dan utilitas umum yang berada di perumahan dan kawasan permukiman; dan
mengawasi pemanfaatan dan berfungsinya prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan kawasan permukiman.
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya. Yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[10]
Jenis peraturan perundang-undangan selain yang telah disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.[11]
Ketentuan ini menunjukan bahwa peraturan perumahan tidak dikenal dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia. Peraturan tersebut pun tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, karena tidak diperintahkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau tidak dibentuk berdasarkan kewenangan.
Selain itu, UU 12/2011 telah mengatur bahwa materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam undang-undang, peraturan daerah provinsi, atau peraturan daerah kabupaten/kota.[12]
Ketentuan pidana dalam peraturan daerah berupa ancaman pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak Rp50 juta.[13] Maka dari itu, peraturan perumahan tidak boleh memiliki sanksi pidana.
Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi:
penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama;
penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;
penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam;
peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan
penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 17 ayat (2) UU Aceh
Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan khusus pemerintahan kabupaten/kota adalah pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi:
penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama;
penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;
penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam; dan
peran ulama dalam penetapan kebijakan kabupaten/kota.
Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syariyah dan akhlak, yang meliputi ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.[14]
Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syariat Islam. Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam.[15] Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelaksanaan syariat Islam.[16]